naskah agus noor

MATINYA TOEKANG KRITIK

– Sebuah Teater Monolog –

Karya Agus Noor




Terdengar detak nafas waktu…

Sebelum pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…

Ketika para penonton mulai masuk ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus berdedak berdenyut itu. Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara ddetak-detik waktu yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada satu bagian panggung, mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan seakan mengingatkan pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram dalam cahaya. Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang tertidur abadi di atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.



Sesekali menggema dentang lonceng, terdengar berat dan tua.[2]
Kemudian bermunculan orang-orang berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang berayun-ayun pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang tengah melakukan ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang berputaran. Sampai kemudian sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]

Kini, di bawah cahaya yang kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno, tokoh dalam monolog ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu yang abadi. Tapi ia juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama ia terlihat semakin resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika terdengar jerit waktu: dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam weker berdering serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang. Gema lonceng gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan menyusut. Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan menggulung-gulung dalam ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik. Badai menggemuruh beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang. Suara-suara kemerosak gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar suara Bung Karno membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain, suara iklan yang lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara dan gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api. Lenyap lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato di depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus menerus. Kemudian perlahan menghilang…

Dan kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.

Di kursi goyang itu. Raden Mas Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau. Sampai kemudian dia terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.

RADEN MAS SUHIKAYATNO:[10]

(Mengigau risau) Ini jam berapa?.. Tahun berapa?…

Sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu yang pelan…

DENMAS:

(Pelan-pelan terbangun, berteriak memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana anak itu… (Kembali berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru jadi pembantu saja sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi presiden! (Kembali berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!

Terus saja sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian bersandar di kursi goyang. Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti mendesah…

DENMAS:

Ini kutukan… Ataukah kemuliaan….

Terdengar jam tua bertendang, kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam berdetak.

DENMAS:

(Seakan hanyut oleh gema suara yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa) Kalian dengar suara itu?… Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut… bersijengkat lembut mendatangimu.

Suara tik-ak itu pelan konstan, seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.

DENMAS:

Suara waktu! Berabab-abad aku mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara kereta yang menderu… Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa… (Menjadi melankolis dan merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran waktu yang merembes ke dalam tubuhnya) Ya, itu suara waktu…

Tiba-tiba suara tik-tak itu berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara ketukan orang jualan siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy…. Siomay…”

DENMAS:

(Jengkel, berteriak ke arah ‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya kira suara waktu!… (Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh… Jangan-jangan saya memang sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal tujuh belas!

Raden Mas Suhikayatno cemas, gelisah…

DENMAS:

(Berteriak memannggil mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya! Mereka pasti sudah menunggu saya….

Terdengar celetukan dari para pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”

DENMAS:

Saya mau ikut upacara tujuh belasan di Istana Negara…

Terdengar jawaban dan celotehan dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja belum, kok!… Mas, ini masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada… Adanya homoseks… dst”

Raden Mas Suhikayatno jadi bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi goyang…

DENMAS:

Apa saya menderita amnesia, ya? (Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang bertumpuk-tumpuk. Saya mengira Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati diri saya berada di waktu yang salah.

Bersamaan dengan itu terlihat lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke arah Raden Mas Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam kepalanya…

DENMAS:

Ini tahun berapa sebenarnya… Ini tahun berapa…

Sampai terlihat gambar orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi bersa-maan itu terdengar suara derap dan ringkik kuda…

Tiba-tiba terdengar suara,[13] bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Bingung, tak percaya) 1998?? Yang bener!

Suara itu terdengar lagi, menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Bukannya ini tahun 1828?

Suara itu kembali menegaskan dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Lha itu siapa…, orang-orang yang pakai seragam putih-putih itu…

Suara itu menjawab: “Mereka pasukan jihad.”

DENMAS:

Pasukan Jihad? (Sadar berada di waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya) Saya kira pasukan Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan tahun 1828?!

Suara itu memotong tegas menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Jengkel) Iya! Iya! Tapi ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film hantu. Persis Uka-uka![14]

Tiba-tiba suara itu menjawab dengan biasa, memaki: “Oo asu!”

DENMAS:

Eeeh, malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti tiba-tiba sadar, dan mencoba menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi Presiden Indonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden Indonesia. Malah nanti tidak kreatif.

Tugas, kewajiban dan tanggung jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke tahun, sia pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… pengangguran; menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman luar negeri, menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.

Saya ngomong gitu, bukan karena saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang yang jijik pada sesuatu) Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.

Jangankan Presiden Indonesia… ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh! Padahal Romo Semar sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas jadi raja Hastina, ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.

Saya ingat betuk kok waktu itu… Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi saya sudah ada. Sudah tua dan imut seperti ini.

Waktu itu terjadi krisis di Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar langsung tergopoh-gopoh menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas Suhikayatno, kamu harus menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!” (Pause) Dengan halus saya menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas Semar…, maaf. Bukannya menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf. Saya sama sekali tidak punya cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho, Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi, maaf Dimas Semar… maaf…” [15]

Itulah track record saya… Saya memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat. Itu yang saya pegang teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak zaman saya masih jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan seperti Julius Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia kidal.

Saya ini terlalu low profile untuk dijadikan pemimpin…

Itulah sebabnya, dulu saya sempet berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak membantunya. Padahal kami temen sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu loh![16] . Suka main gundu dan mencuri buah maja sama-sama.

(Kepada para pemusik) Sssttt…, saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin. Nanti penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras hingga suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si Gajah Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan ngintip begitu, bisa menyatukan Nusantara

Para pemusik menaggapi, tak mempercayai.

DENMAS:

Dibilangin nggak percaya!! Saya ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi (Sok gaya) Saya, sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau… Tidak mau ketinggalan ikut ngintip.

Nah, suatu senja…. (Mulai bergaya mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah Mada mau ngintip nih… Ia mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan pepohonan. Persis Jaka Tarub ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya, gemeteran… Takut ketahuan. Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…” Tapi dia tak mau. Dia malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang lebah, dan si Gajah Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu wajahnya…. Wuuut…wuuut… Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah yang sering kalian lihat: Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]

Raden Mas Suhikayatno berjalan ke arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut kebutuhan tata setting dan artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang kursi yang juga tua. Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada cangkir dan gelas di atas meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden Mas Suhikayatno yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak…

DENMAS:

(Menyemburkan minuman dari mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua hari lalu. (Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya) Saya sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.

(Mengomel sambil mengambili majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini… (Mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel dan memanggil) Mbang, apa ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, “Dasar Tukang Kritik sirik!”

Saya ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru ganti.

Dikritik memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi, pelan) Mbang… Bambangg…. Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama teriakannya makin tinggi dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!… Bambaaang!! (ke arah penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan, dia selalu menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah) Kamu taruh mana surat itu?!

(Sampai kemudian merasa disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang mendengarnya, mengeluh ke arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit, sakitttttt kik kik kit…. Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah begitu. Buat apa saya terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga kok jadi Tukang Kritik. Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti mengritik, saya sendiri yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut saya langsung pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat saya.

Yaah, barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku[18]… Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…

Raden Mas Suhikayatno tersengal kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian ia berjalan ke meja lagi. Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah yang langsung diacak-acaknya hingga berhamburan kemana-mana.

DENMAS:

Kalian memang mau melupakanku! Kalian mau melupakanku! Melupakanku!

Kemudian teriakan dan kemarahan itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak, terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…

DENMAS:

(Terdengar seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya)) Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya begini?

Tak ada yang lebih menyakitkan, selain dilupakan…

(Mengagah-gagahkan diri, sikap seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh saya!…. Itu jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…

(Lalu kembali gemetaran) Alangkah mengerikan dilupakan….

Kemudian Raden Mas Suhikayatno memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya,

DENMAS:

Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….

Suara Raden Mas Suhikayatno makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya: “Bambaaang…. Bambaaang…

Baaammmbaanngg…. dst…” [19]

Sementara itu, dari sebelah kiri kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis dengan Raden Mas Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua sosok hologram itu memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di bawah cahaya yang menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana seolah-olah ada Raden Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu. Untuk menegaskan itu, kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan terus terdengar rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau demam, sesekali memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut saja mereka dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]

HOLOGRAM 1:

Dia kelelahan…

HOLOGRAM 2:

Dia berusaha bertahan…

HOLOGRAM 1:

Nasibnya akan sama, seperti para Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!

HOLOGRAM 2:

Dia sedang menghimpun kekuatan…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 1:

Dia sedang belajar menerima kekalahan…

HOLOGRAM 2 :

(Kepada hologram satunya) Kau sinis karena tak percaya takdir!

HOLOGRAM 1:

Aku tak menyerah pada takdir, karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik sepertimu…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 2:

Tapi aku tak menyerah… Seperti dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang Kritik yang hidup sepanjang sejarah…

HOLOGRAM 1:

Taik! Tukang kritik tak lebih cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir, terus-menerus) Munafik! Munafik….

Teriakan ‘munafik’ itu terus terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok hologram itu lenyap. Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas Suhikayatno yang disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama pembantunya. Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak… Tolong…. Bambang…. Bambang…..” [22]

Sampai kemudian ‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus bergoyang-goyang gelisah…

Muncul Bambang,[23] membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…

Bambang bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu berhenti. Raden Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…

BAMBANG:

(Sambil membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya) Kasihan Tuan…

Terdengar suara, seakan ada benda jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.

BAMBANG:

Sssssttttt… Tolong, jangan berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini kelihatan gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu orangnya membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut bingung.

Tuan saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan dia ngelihat, pasti langsung ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda ganti pakai kaos merah, tetep saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”… (Begitu seterusnya). [24]

Bambang kemudian melihat majalah dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera memberesi.

BAMBANG:

(Sambil memeberi koran majalah itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah menirukan majikannya) “Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi pembantu!” (pause) Saya memang nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah Bambang. Mana teh ada pembantu namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi presiden, uiy… Meski jerawatan gini!

Yang nyebelin, nanti kalau udah saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali menirukan majikannya) “Siapa yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek gini!” (pause) Begini salah, begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini nggak ada yang bener dimatanya.

Bambang mau menaruh koran dan majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”

BAMBANG:

(Kaget mendengar suara itu) Gila kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!

Lalu membawa kembali koran-koran itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu saja. Dan Langsung terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener… yang rapi…”

BAMBANG:

(Gemes, jengkel) Hhhhhmmm. Gemes aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!

Kalian bisa bayangkan, bagaimana stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno Purwokerto ini… Sejak kecil saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi pembantu di sini. Kakek saya. Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya simbah, simbanhnya simbahnya simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun temurun dikutuk jadi pembantu!

Tapi Simbah saya pernah bilang, “Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25] Tapi keberuntungan. Kita ini orang-orang pilihan, Le. ”

Jadi, trah saya itu trah pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang pembantu. Kalau di dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir keturunan mugle, seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di tubuh saya ini termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini kasta tertinggi di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta pembantu jenis TKI itu… Disiksaaaa melulu…

Kadang saya ini merasa nggak jauh beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling beda dikit lah. Mereka turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi pembantu. Kalau raja-raja itu punya gelar, sebenernya saya juga berhak menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat I. Karena pembantu, saya cukup bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan bernama Amongtamu II…, Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut diri mereka sebagai Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau dapur lah. Karena sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning dapur.

Mengambil sapu lidi yang tadi dibawanya, kemudian mulai menyapu…

BAMBANG:

Tapi ya ada senengnya juga kok jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau itu orang hebat. Dia itu….

Mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil: “Mmbaaaang…. Bambanggg….”

BAMBANG:

(Tergeragap) Ehh… iya, Tuan…. (kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang hebat. Seperti wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…

Raden Mas Suhikayatno terus meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang itu.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Saya cuma ngobrol. Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton… Surat? Dari tadi kok nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat gadai? Surat tagihan? Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR. Suratman juga nggak ada… (kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).

Terdengar bunyi dengkur…

BAMBANG:

(Bernada ngedumel) Wahhh, lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah tidur.

Lalu dengan pelan, takut membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu. Kembali bicara kepada penonton.

BAMBANG:

Tadi sampai mana?… (Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…

Dia itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.

Bambang menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…

BAMBANG:

Kalau dilihat dari tampangnnya, ada benernya juga sih cerita itu… Serba tanggung. Cakep enggak, buruk iya. Setengah manusia, setengah makhkuk sengsara… Beda jauh ‘kan sama saya? [27]

Bahkan ada yang percaya: dia sudah ada sejak permulaan dunia. (Bergaya menduga-duga) Jangan-jangan dia itu sesungguhnya pacar pertama Hawa, sebelum Hawa akhirnya menikah sama Adam…

Tiba-tiba gugup, dan langsung mendekat ke arah penonton…

BAMBANG:

Sebentar…. Saya harus klarifikasi sebentar soal Adam dan Hawa dulu. Biar tak terjadi salah interpretasi. Biar tidak diprotes. Dianggap melecehkan. Adam di sini bukan Adam manusia pertama yang jadi nabi itu lho, tapi Adam Malik… Sedangkan Hawa…. (bingung sendiri dan mikir mencari-cari) hmmm.., kalau Hawa apa ya? Oh ya, Hawa itu maksudnya Hamid Hawaludin…[28]

Sejak saya di sini, Beliau ya begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya pernah bilang, (Menirukan suara Kakeknya) “Tukang Kritik sejati seperti dia nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani… dia mengubah namanya jadi Socrates.”

Itu kata Kakek saya. Saya sih percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi, ada benernya juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes. Nah, Raden Mas Suhikayatno ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan Suhikayatno, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama berawalan S.

Menurut sahibul hikayat, Raden Mas Suhikayatno ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India.

Kata Kakek saya, (kembali menirukan suara Kakeknya) “Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” (Jeda. Ragu) Iya juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…

Nama Raden Mas Suhikayatno ini juga meragukan kok. Ini nama beneran, atau nama jadi-jadian.

Anda kau tahu, yang namanya legenda, pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh. Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…

Bambang sejenak memandang ke arah kursi goyang, takut omongannya kedengaran Raden Mas Suhikayatno. Tapi langsung tenang ketika melihat tak ada reaksi dari arah kursi goyang.

BAMBANG:

Saya nggak menghinanya lho… Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok.

Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.

Soalnya orang yang suka mengritik itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik, supaya dianggap berani dan kritis. Ada yang selalu mengkritik, agar dapat perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di dalam malah tambah rusak.

Tuan saya ini nggak silau kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Ditawari jadi Presiden Indonesia yang pertama juga nggak mau…

Untung juga ya dia nggak jadi Presiden Indonesia. Bisa berabe kalau yang jadi presiden pertama dia. Kalau Sukarno sih memang pantes. (Mengeja dengan nada melodius) Su-kar-no. Terdengar enak ditelinga. (Meniru suara pembawa acara upacara) “Inilah presiden pertama kita: Sukarno…”. Gagah betul kan kedeengarannya… Lha kalau dia? (Kembali meniru suara pembawa acara upacara) “Ladies and gentlement, inilah presiden pertama Republik Indonesia: Su..ka..yat…yat…yat…yat.. no…no…” Diberi echo ajah tetep kagak enak. Su-ka-yat-no… Nama yang amat sangat tidak nasionalistis!

Lagi pula nama Kayat kan berbau kekiri-kirian. Ka-yat. Kedengaran seperti “rak-yat”. Jenis nama-nama yang bisa membawa nasib buruk buat para pemiliknya. Contohnya: Mu-nir…[29]

Terdengar suara erangan dari arah kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa…”

Cepat-cepat Bambang pura-pura sibuk menyapu.

Terdengar suara Raden Mas suhikayatno bertanya: “Ini jam berapa…. Ini Tahun berapa…”

BAMBANG:

(Sambil terus pura-pura sibuk menyapu) Jam 4… Tahun 2011…

Raden Mas Suhikayatno terus mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Bambang tetap sibuk menyapu. Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Suhikayatno berhenti…

BAMBANG:

(Melihat sebentar ke arah kursi goyang itu, lalu segera ke arah penonton) Ngegosip lagi aahhh…

Saya ingat. Empat tahun lalu. Tepatnya tahun 2008. Ya. Tahun 2008. Kira-kira 8 bulan sebelum penyenggaraan Pemilu. Raden Mas Suhikayatno diminta jadi pimpinan KPU. Tapi dia nggak mau. Takut terlibat karupsi berjamaah seperti KPU periode sebelumnya…

Saat Pemilihan Presiden tahun 2009, Beliau juga diminta jadi wakil SBY. Soalnya Jusuf Kala maju sendiri jadi Capres didukung Partai Golkar.

Waktu itu memang banyak pengamat yang bilang, kalau majikan saya dan SBY itu pasangan ideal. Lebih cocok, begitu. Ya, setidaknya dibanding wakil SBY sebelumnya, yang dianggap terlalu kreatif, dan terlalu banyak inisiatif. [30]

Saya sih nggak terlalu ngerti politik. Nggak tahulah, gimana kelanjutannya. Yang jelas, pada Pemilihan Presiden tahun 2009 itu pemenangnya adalah calon yang didukung Partai Panji Tengkorak. Yakni, Butet Kertaredjasa.[31] Inilah pertama kalinya, seorang seniman berhasil menjadi presiden di Indonesia…. Gimana seniman ngatur Negara ya? Ngurus hidupnya sendiri saja ruwet…

Tahu, apa program pertama Butet Kertaredjasa sebagai presiden? Mengganti nama-nama jalan. Nama jalan yang tadinya dipenuhi nama tentara, diganti dengan nama para seniman. Jalan Gatot Subroto diganti menjadi Jalan Sapardi Djoko Damono. Jalan S. Parman diganti Jalan S. Bagio. Pokoknnya semua jalan diberi nama seniman. Dari jalan tol, jalan tembus, sampai jalan buntu. Bahkan Jalan Taman Lawang[32] juga diganti menjadi Jalan Djaduk Ferianto. [33] Hanya satu nama jalan yang tidak di ganti. Yakni Jalan Gajah Mada. Karena Gajah Mada itu teman sepermainan majikan saya.

Sampai kemudian, terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau memanggil: “Bambangggg… Pukul berapa sekarang…..”

BAMBANG:

(Tergopoh mendekati kursi goyang) Iya Tuan…. Jam 8 malam… Mau air panas sekarang?

Suara Raden Mas Suhikayatno datar: “Capek… Ini tahun berapa?”

BAMBANG:

(Sudah duduk bersimpuh di dekat kursi goyang itu) Tahun 2011, Tuan… Saya pijit ya…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Kamu yakin… Bukan tahun 3050?…”

BAMBANG:

(Sambil seakan-akan memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno) Wah, kejauhan loncatnya, Tuan… Nggak ada itu di naskah…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Saya yakin ini tahun 3050… Samar-samar saya melihat bayangan bertumpuk-tumpuk….”

BAMBANG:

(Sambil terus memijat, tapi juga melihat ke arah kejauhan) Ooo, itu Borobudur dibikin jadi tingkat lima, Tuan…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Apa surat itu sudah datang?.. Siapkan pakaian saya…”

Bambang segera bergegas mengambi baju majikannya.

BAMBANG:

(Menyerahkan baju yang diambilnya ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu membentangkannya di selimut) Saya pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno – terdengar desah nafasnya yang keenakan dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia melonjak kaget, sementara tangannya terbenam masuk selimut seakan dicengkeram majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu. Saya kira tangan Tuan… Tapi kok lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….

Tangan Bambang terpiting, ia kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri menjadi Raden Mas Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi: dari Bambang yang dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang memuntir tangan Bambang.

Kini Raden Mas Suhikayatno memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga seperti berjubahkan selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan pembantunya….

DENMAS:

Kurang ajar! Bener-bener tidak punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok dimain-mainin… Enak tau! Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…

PAUSE: berubah jadi Bambang (melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Ampun, Tuan… Saya cuma mau ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…

PAUSE: berubah jadi Raden Mas Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri memandangi ke arah pembantunya yang bersimpuh dekat kakinya.

DENMAS:

Eee…menghina ndoromu ini ya?! Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken Dedes sampai Ken Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat, menguap) Tolong air putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi) Eh, sekalian tusuk gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil melemaskan otot. Sampai kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur, menyembur-nyemberkan air kumur ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)

PAUSE: berubah jadi Bambang, bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Sekarang Tuan mau mandi dulu, apa langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya siapin. Odol masih ada… Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah bekas yang kemarin..

PAUSE: berubah cepat jadi Raden Mas Suhikayatno,

DENMAS:

(Membentak marah sambil sekan membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau memukul) Bajigur! (Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya pembantu macam kamu. Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan pembantunya dan mulai memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya menghilang) Hai, sini!… Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak usah alasan mau benerin atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik. Kamu itu bener-benar keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu dibilangin kok ngeyel buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh turun, Mbang! Turun!

(Kepada penonton) Jangan salah faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya. Bukan Bambang yang lain…

(Kembali seakan ke arah pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang kamu lihat di kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari di bawah keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu nunggu saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…

Raden Mas Suhikayatno berbicara di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan majalah di atas meja, mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…

DENMAS:

(Tampak kecewa, ketika tahu tidak menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa mengirimkannya! (Menimbang, menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak mau mengirim-kan? Mereka anggap saya ini siapa?

Maaf, saya bukannya mau mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira Tukang Kritik macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa ini kalau nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam sayalah yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.

Waktu negeri ini masih dijajah Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni? (bisa ke arah pemusik, yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba yang berani melawan Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.

Kalian terlalu meremehkan peran saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal mereka…, meski mereka tidak kenal saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya. Saya selalu menemani mereka berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka diskusi.., saya menemani membikinkan kopi.

Ini sejarah, Bung! Kebenaran paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah kita penuh kebohongan. Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak lebih dari berbagai macam versi kebohongan!

(Mengambil albun foto di atas meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian lihat lagi foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto pembacaan Proklamasi….

Di layar terlihat foto Pembacaan Proklamasi itu.[34]

DENMAS:

Perhatikan dengan cermat. Itu, di sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya bidang kosong hitam. Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah menghitamkannya…

Selama ini saya diam. Kalian menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama saya tak disebutkan. Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan bisa sitarsirkan macam-macam…

Tapi kenapa kalian hanya menyebut para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan mereka? Ibu-ibu Bangsa yang merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?

Sungguh…, saya tak menuntut apa-apa….

Tidakkah kalian ingat di tahun 1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto… Ketika semua bungkam… Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa. Ketika koran dan majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara demokrasi… Tidakkah kalian ingat saya…

Bagaimana mungkin, kini kalian perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…

(Meninggi) Sayalah yang selalu mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa membunuh suara? Suara bisa kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu tak mungkin bisa membunuh saya…

Di puncak kemarahan, Raden Mas Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang, kelelahan. Dadanya sakit. Ia memanggil-manggil pembantunya….

DENMAS:

Bambaaang…. Toloooonggg…. obat saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya suara zaman… Gema yang terus berpan-tulan…

Suara racauan Raden Mas Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak jelas. Pada Saat itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang muncul dari pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang berdenyut, semesta yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang bergemeretak bergerak. Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung. Nyanyian itu, kau dengarkah nyanyian itu?

Yang berdiam di rahim waktu

Engkau siapakah itu?

Kami mendengar di desau hujan

Keluhmu pelan tertahan

Kami melihat ada yang berkelat

Engkaukah itu berbaring lelap

Di pusaran waktu

Di rahim waktu

Siapakah itu?

Bersamaan gema lagu yang meredup, muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas Suhikayatno yang mengerang gelisah dalam tidurnya.

HOLOGRAM 1:

Lihatlah dia yang selalu tertidur tapi setiap saat merasa terjaga… Ia menderita disiksa mimpi-mimpi yang ia kira kenyataan hidupnya

HOLOGRAM 2:

Bangun… Ini sudah tahun 2028.

HOLOGRAM 1:

Ia masih tersesat di abad silam…

Terdengar genta waktu menggema.

HOLOGRAM 2 :

Tahun 2045

Terdengar lagi genta waktu menggema

HOLOGAM 1:

Tahun 2066

HOLOGRAM 2:

Kau dengarkah yang berdenyut di jantungmu. Suara-suara yang menge-pungmu.

Sementara itu Raden Mas Suhikayatno terbangun, antara tidur dan jaga, memangdangi sekililing yang bagai tak dikenalinya

DENMAS:

Di mana saya…

HOLOGRAM 1:

Kamu ada di mana kamu merasa ada…

HOLOGRAM 2:

Kamu tak ada di mana-mana…

Raden Mas Suhikayatno kebingungan menatap sosok bayang-bayang itu…

DENMAS:

Siapa kamu!

HOLOGRAM 1:

Aku Tukang Kritik yang berjalan melintasi waktu… Akulah kamu yang selalu menyebunyikan wajahmu… Mereka yang membanggakan diri jadi Tukang Kritik, padahal bermuslihat pura-pura baik.

DENMAS:

Tidak….Tidak….

HOLOGRAM 2:

Kamu marah karena kamu dilupakan. Kamu selalu menunggu surat itu datang. Surat yang akan mencatat namamu di barisan para pahlawan…

DENMAS:

(Berteriak-teriak memanggil pembantunya) Bambanggg!!! Bambanggg!!!

HOLOGRAM 1:

Lihat sekelilingmu… Ini tahun 2070… Kamu terselip dipojokan sejarah. Tak ada lagi yang mengingatmu. Tak ada lagi yang membutuhkanmu.

DENMAS:

(Terus berteriak-teriak ) Bambanggg..!!! Bambanggg!!!….

Terdengar genta waktu menggema, berulangkali. Sementara Raden Mas Suhikayatno terus berteriak memanggil pembantunya. Memegangi kepalanya yang kesakitan. Gelombang waktu berpusaran dalam kepalanya.

Terdengar terompet pergantian tahun. Dua sosok hologram itu perlahan menghilang. Hanya tinggal terdengar suaranya di sela pekik keramaian dan sorak-sorai menyambut pergantian tahun… Cahaya kembang api meledak warna-warni!

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3001.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3002.

Gerigi mesin waktu berderak-derak bersama lengking terompet pergantian tahun dan pijar kembang api warna-warni, berpijar di langit kota modern…

TERDENGAR SUARA MEKANIN :

Tahun 3003.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3004.

TERDENGAR SUARA MEKANIS :

Tahun 3005.

DENMAS :

(Menjerit keras melengking panjang) Baambbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa-aaaaaaannnnnnggggggggggggggg……..

Cahaya tiba-tiba benderang dan semua keriuhan dan suara seketika berhenti. Sepi. Panggung seperti ruang steril hampa udara. Pucat perak…

Raden Mas Suhikayatno tersandar di kursi goyang diterangi cahaya terang monokrom. Raden Mas Suhikayatno memandang bingung sekeliling…

Video-multimedia menghadirkan gambar-gambar gedung menjulang, siluet kota-kota ultra modern. Jalan-jalan layang metalik, mobil-mobil terbang. Kota futuristik. Raden Mas Suhikayatno jadi terlihat terpencil dan kecil dibawah semua bayang-bayang gedung-gedung menjulang itu. Ia hanya memandangi semua itu seperti orang bingung…

DENMAS:

Pernahkan kalian merasa begitu kesepian seperti yang kini saya rasakan?… Kesepian karena kehilangan peran… Mau apa saya… Semua sudah serba rapi. Tertib. Terkomputerisasi. Tak ada lagi yang bisa dikritik…

Raden Mas Suhikayatno menggerak-gerakkan kepalanya, memain-mainkan tangannya seperti kanak-kanak yang bermain menciptakan bayang-bayang. Tapi Ia kemudian segera bosan. Apa pun yang ia lakukan, ia segera merasa bosan.

DENMAS:

Makan sudah… Baca sudah… Tidur sudah… Masturbasi sudah… Apa lagi ya?

Muncul Robot pembantu rumah tangga.[35] Dibalut pakaian ketat perak. Mekanis. Robotik. Robot itu membawakan minuman dalam gelas bening….

ROBOT :

Good morning… Good morning…

Robot itu memberikan minuman kepada Raden Mas Suhikayatno, yang segera menimun isi gelas itu…

DENMAS:

(Setelah meminum) Bahkan minuman pun sudah pas betul… Saya tidak bisa mengritik kurang pahit atau kurang manis… Bahkan yang namanya bau, panas, dingin… semua sudah sesuai dengan keinginan setiap orang! Ternyata negeri adil makmur tentram karta raharja bukanlah utopia…

Raden Mas Suhikaatno lalu dengan males menyerahkan gelas itu lagi kepada robot itu…

ROBOT:

Thank you… thank you… Kamsiah…

Lalu Robot pergi…

DENMAS:

Itu tadi hasil cloning Bambang… pembantu saya yang sudah mati tahun 2022 lalu. Dia keturunannya yang ke 4. Bergelar Raden Mas Bambang Mangkukulkas XI. Dengan kode mesin: PRT 3005 GX …

Cahaya datar. Monokrom. Raden Mas Suhikayatno kembali merasa bingung. Kesepian. Ia tak tahu harus berbuat apa. Duduk tak betah. Berdiri tak betah. Berjalan tak betah. Ia tak tahu harus bagaimana.

Sampai para pemusik berkomentar: “Kenapa, Mas?… Kok bingung begitu?”

DENMAS:

Bingung mau ngritik apa… Punya pembantu saja robot. Nggak bisa disiksa pakai setrika… Zaman macam apa ini, kok semua serba tertib! Serba teratur.

Raden Mas Suhikayatno duduk bingung. Membuka-buka majalah. Koran. Tabloid sepintas lalu. Bosan…

DENMAS:

Semua berita baik… Nggak ada pembunuhan. Nggak ada gossip artis kawin cerai… Bosen!

Lalu kembali kepada para pemusik.

DENMAS:

Ayo dong kalian bikin keributan… Apa saja deh! Merkosa kambing juga boleh… Mau ya? Ya? Apa kalian seneng hidup tertib begini. Sekali-kali bikin masalah ‘kan ya nggak papa. Gini saja, kalian saya bayar… Kita demonstrasi ramai-ramai…

Para pemusik menanggapi. Tanpa ekspresi. Kompak. Menggeleng serempak. Mengang-guk serempak. Mekanik.

Karena tak memperoleh tanggapan sebagaimana yang diharapkan, Raden Mas Suhikayatno segera menuju ke kursi goyang. Duduk di sana. Kembali kesepian…

DENMAS:

(Memandang sekeliling) Inilah jaman di mana bahkan nabi pun sudah tidak lagi diperlukan…(Kembali memain-mainkan tangan,, seperti orang menghitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (gerakan tangan dan tubuhnya makin lama makin seperti orang yang menderita autis)

Suara Raden Mas Suhikayatno terdengar seperti bandul yang berayun-ayun monoton. Terdengar juga detak waktu yang menyertai nada suara Raden Mas Suhikayatno itu.

Mendadak seperti terdengar suara letusan yang mengagetkan. Raden Mas Suhikayatno meloncat kaget, gembira…

DENMAS:

(Begitu bahagia, mengepalkan tangan senang) Yes! Cihuuiiyyy! Akhirnya ada mahasiswa yang mati tertembak! … Alhamdulillah… Akhirnya ada yang bisa dikritik… (Bersemangat) Ayo, kita protes! Ayo… (Jeda) Apa? (mendadak loyo) Bukan mati tertembak? Cuma mati bahagia… Kok tidak heroik ya matinya…

Kembali duduk kecewa. Kembali ke kursi goyang…

DENMAS:

(Kembali memain-mankan tangan,, seperti orang mengitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (Gerakan tangan dan tubuhnya kembali makin lama makin seperti orang yang menderita autis)

Sampai kemudia suara Raden Mas Suhikayatno perlahan melemah, dan menghilang…

Kini yang terdengar hanya detak waktu yang monoton. Bersamaan itu cahaya yang monokrom dan datar itu perlahan menyurut. Kursi goyang itu terlihat tenang di bawah sorot cahaya yang kuat pucat. Waktu mendengung panjang. Menggelisahkan.

Kemudian mucul Robot itu. Berjalan mekanik mendekati kursi goyang. Tangan Robot itu terulur kaku ke depan, membawa selembar surat…

ROBOT:

Good morning…. Good morning… Bangun, Tuan… Wake up… Wake up… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat… Bangun, Tuan… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat…

Tapi Raden Mas Suhikayatno tak bergerak. Kursi goyang itu tetap tenang. Robot itu terus memanggil-manggil mekanik. Sampai semua cahaya perlahan meredup. Tinggal menyorot ke arah kursi goyang yang tetap tenang itu. Suara robot itu terus-menerus terdengar berulang-ulang. Berulang-ulang…

Semua cahaya menggelap perlahan.

PERTUNJUKAN SELESAI

Yogyakarta, 2003-2005

[1] Secara tekhnis, suara detak-detik jam itu bisa muncul dari sound system yang ditata sedemikian rupa hingga suara itu seperti muncul dari mana-mana dan memenuhi gedung pertunjukan. Bisa juga secara manual dengan menempatkan banyak jam weker di berbagai titik di dalam gedung pertunjukan, di bawah kursi penonton, dsb. Dimana nanti, semua jam weker itu berdering, dengan menempatkan kru pertunjukan untuk mewujudkan tekhnis tersebut. Atau di dinding ruang penonton dipasangi banyak jam aneka rupa dengan penunjuk angka/jarum waktu yang berbeda-beda. Mungkin juga dengan tata artistik yang mempertegas suasana, dengan intensi lukisan semacam “waktu yang memelelah” karya Salvardore Dali. Sementara, bila memakai video/multimedia, bisa divisualisasikan denyut waktu itu secara visual, seperti ada jarum waktu raksasa yang memenuhi panggung, atau gerigi-gerigi mekanik waktu pada jam yang saling bergerak berderak. Pendeknya, secara artistik bisa dikembangkan menurut interpretasi masing-masing.[2] Dentang lonceng ini juga bisa menjadi penanda pertunjukan. Dimulai dentang sekali. Dua kali. Lalu tiga kali, sebagai tanda pertunjukan di mulai. Atau puncaknya sampai berdentang 12 kali, baru mulai pertunjukan.

[3] Para aktor pendukung/para pemusik dan aktor yang akan memainkan monolog ini.

[4] Adegan ini berfungsi untuk memberi kesempatan aktor-pemeran duduk di kursi goyang itu. Pada bagian sebelumnya, di kursi itu hanya terlihat selimut yang merungkupi kursi goyang untuk mengesankan seakan-akan ada orang yang duduk dan tertidur di atas kursi goyang itu. Sejak adegan ini, di kursi goyang itu sudah meringkuk aktor-pemeran.

[5] Bila mereka para pemusik, mereka bergerak ke tempat yang sudah ditentukan menurut kebutuhan pertunjukan. Bila mereka para aktor pembantu, bisa langsung silam ke sisi-sisi panggung.

[6] Ini bila memakai multimedia, dalam hal ini gambar video. Gambar-gambar dari efek video inilah yang menyorot ke arah panggung. Gambar-gambar itu dibiarkan pecah, tak perlu disorotkan ke sebuah layar, tapi diproyeksikan ke arah di mana kursi goyang itu berada.

[7] Suara ini wajib ada. Suara-suara lain bebas dikembangkan sesuai kebutuhan dramatik suara.

[8] Suara ini juga mesti ada. Bisa dimunculkan juga pidato Soeharto ketika menyatakan diri mundur dari jabatan presiden. Juga suara khas Habibie. Suara Megawati. Gus Dur. Sesilo Bambang Yudhoyono. Suara-suara itu muncul berjauhan, tumpang tindih (tidak mesti runut-linear), seperti mencul dari gelombang radio yang serak dan rusak, di antara ilustrasi musik.

[9] Gambar-gambar masa silam ini bisa diambilkan dari potongan-potongan film yang menggambarkan masa silam. Misalkan film The Ten Comandement, yang menggambarkan adegan Nabi Musa, film King Arthur atau The Great Alexander, atau mungkin film Diponegoro, dokumentasi-dokumentasi video/film. Bisa juga ilustrasi gambar yang menceritakan perjalanan waktu – dari seri National Geografhic, misalnya. Atau membuat sendiri.

[10] Untuk efektifitas penulisan, selanjutnya akan disebut “Denmas”.

[11] Bambang adalah tokoh pembantu dalam monolog ini. Nama Bambang dipakai, karena ketika naskah ini ditulis, nama Presiden RI adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Kelak, bila presiden berganti dan naskah ini dipentaskan, maka nama Bambang harus diganti dengan nama presiden yang sedang menjabat. Pilihan nama seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan: bahwa jabatan presiden itu sesungguhnya “pembantu rakyat”. Yakni Pembatu yang “diperintah konstitusi” untuk bekerja mensejahterakan rakyat yang menggaji dan membayarnya melalui bermacam pajak.

[12] Gambar ini juga diupayakan ada, karena berkait adegan selanjutnya. Kecuali bila Ada interpretasi lain, dan ingin mengembangkan adegan sendiri. Bagaimana pun, sebagai teks pertunjukan, teks ini sangat terbuka untuk dikembangkan berkaitan dengan situasi, keadaan dan kesiapan pementasan.

[13] Suara ini bisa berasal dari pemusik, atau dari suara aktor pembantu atau kru pentunjukan lainnya. Suara ini bergaya seperti tengah memberikan pengumuman

[14] Uka-uka, pada saat naskah ini ditulis, sangat popular sebagai ikon hantu. Di lain waktu, bisa diganti ikon hantu yang lebih popular ketika naskah ini dipentaskan.

[15] Adegan wayang orang ini bisa diplesetkan (dideformasi) pada bagian yang memungkinkan. Pengulangan kata “maaf” di adegan ini sendiri terinspirasi dari tokoh Mpok Minah di serial Bajaj Bajuri yang selalu mengulang-ulang kata “maaf” seperti itu.

[16] “Gaul gitu loh” adalah ungkapan yang popular dan ngetrend dikalangan anak muda pada zaman monolog ini ditulis. Sebagai ungkapan popular dan ngetrend, itu pasti terkait dan terbatasi mode. Bila monolog ini dipentaskan pada situasi yang (sudah) berbeda, maka ungkapan ini pun mesti disesuaikan dengan uangkapan yang saat itu sedang ngetrend.

[17] Adegan berkisah ini sifatnya “main-main” dalam konteks permainan dramatik. Bisa dikembangkan sebagai upaya memperkaya “main-main” itu. Gaya aktor menceritakan itu cair, ditambah-tambahi, dan para pemusik bisa ikut berceloteh menanggapi, misalnya.

[18] Perhatikan perubahan kata ganti orang pertama, dari “saya” menjadi “aku”. Ketika Raden Mas Suhikayatno menyebut dirinya dengan “aku”, maka ego dia sudah mengempal. Ada dendam dan kegeraman di situ, yang menyulut kemarahannya. Dan itu muncul sebagai ekspresi terakhir untuk menunjukkan harga diri dan keberadaannya.

[19] Ketika cahaya di kursi goyang sudah gelap, maka aktor-pemeran Raden Mas Suhikayatno segera beringsut dari kursi itu, untuk berganti peran. Selimut dirungkupkan ke kursi goyang, hingga mengesankan masih ada Raden Mas Suhikayatno di kursi goyang itu. Sambil beringsut dan pergi itulah, aktor terus memanggil-manggil nama pembantunya itu. Atau untuk efek tertentu, suara itu bisa saja sudah direkam sebelumnya. Jadi selama aktor berganti kostum/berganti peran, suara memanggil-manggil terus terdengar. Atau, suara itu bisa digantikan oleh suara aktor pembantu/pemusik, yang diusahakan mirip dengan intonasi dan warna suara si aktor.

[20] Dengan teknik tertentu, di bagian kursi goyang itu bisa dipasangkan tali senar, dimana seorang kru bisa menarik dan mengulur senar itu agar kursi goyang terus terayun-ayun.

[21] Hologram adalah bentuk visual yang berupa efek pemadatan cahaya, sehingga bisa menghadirkan sosok atau benda dari proyeksi cahaya. Bila tekhnologi ini belum bisa diaplikasikan dalam pertunjukan ini, maka sosok hologram bisa berupa bayangan pada layar dari video/multimedia., berupa visual dari tokoh Raden Mas Suhikayatno, yang sudah dibuat sebelumnya. Tapi bila itu juga tidak mungkin, 2 sosok hologram itu bisa diperankan oleh aktor lain, yang secara casting mirip dengan aktor pemeran Raden Mas Suhikayatno. Tinggal mak up dan kostum disamapersiskan.

[22] Suara ini bisa digantikan oleh aktor pembantu, atau sudah direkam sebelumnya

[23] Dimainkan oleh aktor yang sama, yang memerankan Raden Mas Suhikayatno, setelah berganti kostum.

[24] Di bagian ini bisa dikembangkan dengan interaksi dengan penonton, dimana aktor bisa secara cair-keluar dari peran, memberi komentar tentang baju, cara duduk, atau apa pun dari seorang penonton. Fungsinya untuk menegaskan “kenyinyiran” Raden MAs Suhikayatno yang sedang diceritakan oleh tokoh Bambang itu. Tentu dengan mempertimbangan alur dramatik secara keseluruhan.

[25] Le, berasal dari Thole (bahasa Jawa), yang merupakan panggilan kepada anak laki-laki. Panggilan ini bisa diganti menurut kebutuhan tempat dan etnis lainnya, tergantung di etnis mana pentas ini berlangsung.

[26] Mugle adalah istilah para penyihir untuk menyebut “manusia”, dalam buku Harry Potter karya J.K. Rowling. Penyihir keturunan mugle artinya penyihir yang punya unsur darah manusia dalam trah keluarganya.

[27] Ini “joke alusif”, karena sesungguhnya dua orang itu sama, karena dimainkan oleh aktor yang sama.

[28] Ini adalah joke yang kontekstual, dimana pada saat monolog ini ditulis, nama Hamid Awaludin – yang disini kemudian diplesetkan menjadi Hamid Hawaludin – cukup popular di masyarakat. Bila jaman berganti, dan nama itu tidak cukup dikenal, mana harus ada penyesuaian atas joke ini.

[29] Bisa dikembangkan dengan berinteraksi dengan menyebut nama-nama tokoh yang hadir, yang kira-kira dianggap kritis pada saat ini. Pada saat ini, sebagai contoh nama Te-ten, Bas-ri…

[30] Teks pada bagian ini sangat kontekstuak, yang terkait dengan situasi dimana naskah ini ditulis pertama kali. Bila pada suatu saat, konstelasi politik berubah, dan mungkin sudah terjadi pergantian pemerintahan/presiden, maka nama dan konteknya mestilah disesuaikan. Misalkan naskah ini dipentaskan tahun 2015, maka “waktu kisah dan peristiwa dalam lakon ini” juga mesti disesuaikan – dimajukan kira-kira sepuluh tahun ke depan.

[31] Penyebutan Butet Kertaredjasa di sini, karena monolog ini pertama kali akan dimainkan oleh dia. Apabila naskah ini dipentaskan oleh aktor lain, maka nama aktor yang memainkan itulah yang disebut.

[32] Taman Lawang adalah wilayah yang berkonotatif “permesuman”. Tiap daerah punya lokasi seperti itu.

[33] Di sini penyebutan nama-nama itu juga situasional. Yang penting nama itu familiar dengan audiens. Dan bisa juga “menggarap” beberapa nama seniman yang kebetulan saat itu hadir menyaksikan pertunjukan. Jadi penyebutan nama-nama itu fleksibel, dan kira-kira tak menjadi preseden yang bisa merugikan pementasan itu sendiri.

[34] Dalam gagasan saya, bila pertunjukan ini menggunakan media video, maka slide foto bisa disertakan menyertai adegan ini. Dimana dilayar muncul berganti-ganti foto-foto dokumentasi sejarah, dari zaman pergerakan sampai mungkin foto Soeharto menyatakan pengunduran dirinya, Gus Dur yang didorong di atsas kursi roda, dst. Gambar slide itu seakan adalah gambar di albun yang diperlihatkan oleh Raden Mas Suhikayatno. Komentar-komentar Raden Mas Suhikayatno selanjutnya bisa dikembangkan berkaitan dengan foto-foto yang muncul pada layar. Bila secara tekhnis sulit, berarti tak ada slide foto-foto itu.

[35] Di sini akan disebut sebagai Robot. Peran robot dimainkan oleh aktor yang bertubuh kecil. Bisa laki. Bisa perempuan. Tapi kostum robot mesti tidak menyarankan identifikasi jender itu.



PRESIDEN KITA TERCINTA

Saya baru saja menyelesaikan naskah lakon “Presiden Kita Tercinta”. Lumayan menyita waktu saya proses penulisan drama itu, tentu di samping kesibukan saya yang lain, hingga blog ini agak terbengkalai. Lakon ini, rencananya, akan dipentaskan tahun 2009 nanti. Kisahnya seputar penggulingan seorang Presiden, dan kemudian terjadi kesibukan untuk mencari penggantinya. Siapa yang tepat jadi Presiden? Begitulah, intrik-intrik pun terjadi. Untuk pemanasan, saya turunkan bagian dari lakon itu. Bagian ketika proses pemilihan Presiden itu berlangsung dalam kemeriahan. Ini dia petilannya.
Sekeping Koin Wasiat
Ada kain terjuntai, menandai halaman belakang Istana Kepresidenan. Pada kain itu, tampak silhuet bayangan Kolonel Kalawa Mepaki yang sedang berlatih pedang, bermain anggar, dengan gerakan yang lincah, meski kakinya pincang. Ia begitu gesit memainkan pedangnya, seakan bertarung dengan musuh yang tak kelihatan.
Tuan Pitaya Mentala mengawasi, berdiri di dekat Lalita Maningka yang duduk dibawah naungan payung – semacam payung kebesaran yang indah – yang dipegangi seorang prajurit. Prajurit pembawa payung ini, nantinya akan selalu mengambil posisi memayungi Lalita Maningka, kemana pun ia bergerak.
Tuan Pitaya Mentala, “Dasar bahlul… Setiap hari ente berlatih, seakan-akan setiap saat musuh akan menikam ente dari balik kegelapan…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Musuh selalu berbahaya, karena ia bahkan bisa menyamar sebagai orang yang paling dekat.”
Tuan Pitaya Mentala, “Tapi kan ane sohib ente. Tidak mungkinlah kalau ane…”
Tiba-tiba Kolonel Kalawa keluar dari balik kain itu, dan langsung mengarahkan ujung pedangnya tepat di depan wajah Tuan Mitaya, membuat Tuan Pitaya langsung menghentikan ucapannya.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Kita lihat saja… Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya…”
Tuan Pitaya Mentala mencoba bersikap tenang, mencoba menghindar.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya!”
Tuan Pitaya Mentala, “Aduuuh, ente berlebihan, Kolonel… Ane kira, tak perlulah main-main seperti ini… Mubazir… Ada hal-hal yang lebih bersifat konstitusional yang musti kita lakukan. Kita musti menjalankan amanat konstitusi…”
Terasa kalau Tuan Pitaya nampak sekali ingin berkelit, menunda pertarungan. Tetapi pada saat itulah, Lalita Maningka sudah menyodorkan pedang padanya…
Lalita Maningka, “Bersikaplah layaknya laki-laki terhormat, Tuan Pitaya…”
Mau tak mau Tuan Pitaya Mentala menerima pedang itu. Dan begitu Tuan Pitaya sudah memegang pedang, Kolonel Kalawa langsung melakukan serangan. Tapi rupanya Tuan Pitaya cukup mahir juga memainkan pertarungan. Ia menghindar, dan kemudian memberikan serangan. Begitulah, mereka terus memainkan pedang selama percakapan ini.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Gerakan yang lumayan untuk seorang yang terlalu banyak berfikir…”
Tuan Pitaya Mentala, “Kekuatan senjata bukan pada tenaga, Kolonel. Pikiranlah yang menggerakkan senjata…”
Tampak Kolonel Kalawa terdesak.
Tuan Pitaya Mentala, “Bahkan pikiran bisa jauh lebih kuat dari senjata, Kolonel…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Tergantung siapa yang memegang senjata. Saya faham bagaimana memainkan senjata, bahkan ketika musuh-musuh saya mengira saya lemah…”
Dan mendadak dengan begitu piawai Kolonel Kalawa membalikkan keadaan hingga kini ia mendikde permainan Tuan Pitaya, mendesaknya, bahkan cenderung mengejeknya. Kini Tuan Pitaya kerepotan menghindar menangkis serangan, dan terdesak. Keduanya berhenti, dengan pedang saling bersilangan…
Tuan Pitaya Mentala, “Ente tidak lemah…hanya sering gegabah. Keadaan ini tidak cukup diatasi dengan senjata, Kolonel. Itulah sebabnya ente membutuhkan ane… Kekuatan dan pikiran, seperti dua sisi keping keberuntungan yang ente miliki…”
Kemudian kembali keduanya saling memainkan pedangnya. Tampak keduanya seimbang dalam permainan. Sampai kemudian keduanya terlihat serempak melakukan serangan mematikan. Ujung pedang Kolonel Kalawa tepat mengarah di leher Tuan Pitaya. Sedang ujung pedang Tuan petaya tepat berada seinci di dada Kolonel Kawala.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Hati-hati leher Anda, Tuan Pitaya…”
Tuan Pitaya Mentala, “Hati-hati jantung ente…”
Lalita Maningka langsung bertepuk tangan menyaksikan akhir permainan itu.
Lalita Maningka, “Laki-laki memang selalu ingin membuktikan dirinya paling hebat. Tapi nasib dua orang hebat akan selalu mengenaskan dalam pertarungan… Keduanya bisa sama-sama mati konyol… Saya kira, ada hal-hal mendesak yang harus kita matangkan, selain bertingkah konyol seperti itu.”
Tuan Pitaya Mentala, “Itulah yang tadi ingin ane katakan pada Kolonel. Secara konstitusi kita musti secepatnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat konstitusional…”
Lalita Maningka, “Hentikan omong kosong soal konstitusi, Tuan Pitaya! Saya sama sekali tak percaya!”
Kolonel Kalawa Mepaki, menyela cepat, “Nyonya Lalita Maningka… Nada bicara Nyonya seakan-akan Nyonya yang memberi perintah di sini!!”
Lalita Maningka, “Syukurlah pendengaran Anda masih baik, Kolonel. Apakah Anda mengharap saya duduk manis melihat ini semua? Ingat, Kolonel, bagaimana pun saya adalah istri syah Presiden almarhum…”
Tuan Pitaya Mentala, “Dan secara konstitusi mewarisi tapuk kekuasaan tertinggi bila Presiden berhalangan secara tetap…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Nyonya Lalita tidak percaya pada konstitusi, Tuan Pitaya!”
Lalita Maningka, “Kalau yang ini saya percaya, Kolonel…”
Kolonel Kalawa Mepaki tampak geram, lantas mengeluarkan koin keberuntungannya. Melempar lalu tersenyum demi melihat isyarat dari keping keberuntungannya itu.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Saya hanya percaya, kalau ini hari keberuntungan saya!”
Lalita Maningka, “Anda memang beruntung, Kolonel, karena saya tetap percaya pada Anda…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Kepercayaan Nyonya pada saya, tentu saya hargai. Tetapi yang jauh lebih penting adalah kepercayaan rakyat pada saya.”
Lalita Maningka, “Dan dengan apa Anda akan memperoleh kepercayaan rakyat itu? Seribu batalion pasukan Anda, barangkali bisa menakut-nakuti mereka. Tapi peluru yang Anda miliki tidak akan cukup untuk menghabisi jutaan rakyat bila mereka terus-terusan membangkang. Karna itulah Anda membutuhkan saya, Kolonel. Karna sayalah yang bisa menenangkan mereka. Mereka menghormati, bahkan memuja saya, sebagai Ibu Suri, sebagai Ibu Negara. Mereka tidak berbondong-bondong mengepung Istana ini, karena mereka tahu saya mendukung Anda.”
Tuan Pitaya Mentala, “Dan secara konstitusional, ane-lah yang membenarkan tindakan ente…”
Lalita Maningka, “Cukup, Tuan Pitaya. Saya tak mau dengar soal konstitusi!”
Tuan Pitaya Mentala, “Tapi tadi Nyonya percaya konstitusi…”
Lalita Maningka, “Yang ini saya tidak percaya!”
Dengan gayanya yang anggun, penuh kuasa, Lalita Maningka, mendekati Kolonel Kalawa.
Lalita Maningka, “Saya membiarkan suami saya terbunuh, karena saya yakin ini jalan terbaik bagi Republik ini. Sebagai Presiden dan suami, ia sudah tua. Ia sudah kehilangan arah. Kekuasaanya mulai rapuh… Ketika banyak kasuk-kusuk di kalangan Perwira, saya menaruh harapan besar pada kamu. Saat itu, aku yakin, kamu banteng muda yang dapat diandalkan. Maka, jari yang lembut ini pun diam-diam mulai melapangkan jalan buatmu. Apa kau tidak merasakan itu, Kolonel? Kamu, saat ini pasti masih menjadi Kopral ingusan, bila saya tak mengatur semuanya. Saya lakukan semua itu, Kolonel, karena saya pikir itu cara terbaik menyelamatkan negara ini dari perang saudara…”
Selama Nyonya Lalita Maningka bicara penuh aura kuasa seperti itu, Kolonel Kalawa Mepaki mencoba menutupi perasaannya dengan memain-mainkan koinnya. Melempar menangkap koin itu terus menerus.
Lalita Maningka, “Seperti Paman Gober, kamu boleh mempercayai koin keberuntunganmu. Tapi sayalah Evita Peron Republik ini. Yang membuat rakyat percaya pada mimpi. Harapan. Sayalah yang selalu tampil membagi-bagikan makanan, memberi pakaian gratis, memeluk bayi-bayi mereka yang busung lapar… Saya Ibu Negara yang mempesona mereka, Kolonel. Kalau Anda butuh kepercayaan rakyat, maka Anda membutuhkan kepercayaan saya!”
Tuan Pitaya Mentala, “Karna itulah, Kolonel…, mari kita bermusyawaroh tanpa su’udzon. Ada beberapa soal yang musti dibereskan. Berdasarkan konstitusi…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Langsung pada pokok perkara, Tuan Pitaya!!”
Tuan Pitaya Mentala, “Oh, iya, iya… Langkah konstitusional pertama, ialah mengangkat beberapa Menteri…”
Tuan Pitaya menyerahkan selembar daftar pada Kolonel Kalawa.
Tuan Pitaya Mentala, “Ane sudah menyusunnya. Tingal ente paraf. Yang nomor wahid adalah Kementerian Sumber Daya Moral dan Agama. Ente jangan sampai salah pilih mengangkat Menteri ini…”
Lalita Maningka, “Siapa calonnya?”
Tuan Pitaya Mentala, “Sudah barang tentu, yang paling pantas menjadi Menteri Sumber Daya Moral dan Agama adalah sohib ane: Habib Utawi Kadosta. Dia pemimpin spiritual kondang, Ketua Front Pembela Agama, pemegang monopoli kebenaran, dan tercatat sebagai satu-satunya calon penghuni surga dari kota kita… Bagaimana, Kolonel…”
Kolonel Kalawa melempar koinnya, melihat apa yang keluar di koin itu.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Setuju!”
Tuan Pitaya Mentala, “Yang kedua soal Menteri Pendidikan…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak perlu ada Kementerian Pendidikan. Cuman ngabis-ngabisin anggaran!”
Tuan Pitaya Mentala, “Tapi secara konstitusi, kita memang wajib mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak perduli konstitusi! Pokoknya hapus Kementrian Pendidikan! Saya lebih suka Kementrian Sosial…”
Tuan Pitaya Mentala, “Lho, justru Kementrian Sosial ini yang sudah dihapus oleh Presiden lama kita…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Kalau begitu, hidupkan lagi! Begitu saja kok repot!” Melemparkan koinnya, “Setuju!!”
Tuan Pitaya Mentala, “Nama-nama kandidat menteri dan pejabat lainnya, bisa ente simak di daftar itu…”
Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki, menyebut beberapa nama, mengomentarinya bersama Tuan Pitaya Mentala. Di sinilah, adegan bisa bermain-main dengan menyebut nama-nama penonton yang hadir. Dan Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya, dan berseru, “Setuju!”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Sekarang, bagaimana dengan Kursi Nomer Satu…”
Tuan Pitaya Mentala, “Beradasarkan konstitusi, secepatnya kita musti melaksanakan Pemilu…”
Kolonel Kalawa Mepaki, mengeram marah, “Anda meragukan kemampuan saya, Tuan Pitaya?!”
Tuan Pitaya Mentala, “Haqul yakin, Kolonel, ene percaya ama ente. Tapi konstitusi Republik ini mengatakan kalo Negara ini musti menjadi Negara yang tampak demokratis. Ente musti mahfum itu… Apa kata dunia, kalau kita tidak menyelenggarakan Pemilu. Bisa dianggap junta militer Republik ini… Rakyat pasti bereaksi keras!”
Lalita Maningka, “Dan kita bisa kena embargo internasional, Kolonel…”
Kolonel Kalawa Mepaki, menatap penuh kecurigaan, “Saya mulai mencium bau pengkhiatan…
Tuan Pitaya Mentala, “Ente jalan salah faham, Kolonel… Ente-lah kunci semua ini. Tetapi ente juga mesti tabayun, bagaimana ente musti memakai kunci itu. Ane sama sekali tak tertarik ama Kursi Nomer Satu. Ane pikir, bukan siapa yang duduk yang terpenting. Tapi siapa yang mengendalikan yang duduk dikursi itu…”
Lalita Maningka, “Seperti permainan bayang-bayang, Kolonel…”
Tuan Pitaya Mentala, “Soheh! Soheh! Persis seperti itu…”
Tuan Pitaya Mentala mendekati Kolonel Kalawa Mepaki, dengan gaya diplomat ulung yang ingin memberikan pengertian.
Tuan Pitaya Mentala, “Dulu, semasa kecil, ane suka sekali bermain bayang-bayang…”
Tuan Pitaya lalu melai memainkan tanggannya, seperti kanak-kanak yang bermain membuat bayang-bayang ditembok. Tangan Tuan Pitaya membuat gambaran burung yang terbang, kepala anjing, dan bermacam permainan bayang-bayang. Pada saat inilah, pada kain yang menjuntai itu, muncul bayang-bayang tangan Tuan Pitaya. Secara tekhnis, bayang-bayang pada kain itu bisa dimainkan oleh aktor pendukung atau kru panggung, dengan mengikuti gerak tangan Tuan Pitaya. Tetapi, bisa saja, secara komedis, sesekali bayangan pada layar itu justru berbeda dengan gerakan tangan Tuan Pitaya.
Tuan Pitaya Mentala, “Orang akan melihat gerak bayang-bayang itu, tetapi lupa, pada yang menggerakkannya. Bayang-bayang itu seperti hidup, padahal kitalah yang memainkan. Itulah kenapa seorang jagoan tembak bisa menembak lebih cepat dari bayangannya. Itulah ilusi bayangan, Kolonel! Kita mesti menciptakan ilusi itu. Memilih orang yang mau menjadi ilusi itu…”
Adegan permainan bayangan itu selesai…
Tuan Pitaya Mentala, “Itulah manfaat mengadakan Pemilu itu, Kolonel. Menciptakan ilusi, bahwa kita menjalankan demokrasi. Nanti, kita ciptakan sebayak mungkin partai. Biarkan setiap orang membikin partai. Partai besar, partai kecil, partai Impian Jaya Ancol… Nah, lalu biarkan setiap orang mencalonkan diri jadi Presiden. Kalau perlu, secara konstitusi kita tetapkan, bahwa wajib hukumnya bagia siapa pun untuk mencalonkan diri jadi Presiden. Mereka boleh menjadi calon idependen bagi dirinya sendiri. Biarkan setiap orang merasa yakin mampu jadi Presiden. Sudah pasti ini lebih banyak manfaatnya dari pada mudaratnya, Kolonel…”
Kolonel Kalawa menatap tajam Tuan Pitaya. Lalu dengan dingin mengarahkan ujung pedangnya ke wajah Tuan Pitaya, hingga Tuan Pitaya tampak kaget, tak menduga. Tapi mendadak Kolonel Kalawa Mepaki tertawa penuh kesenangan…
Kolonel Kalawa Mepaki, “Tidak percuma saya memelihara ular macam Anda, Tuan Pitaya…”
Pesta Para (Calon) Presiden
Musik kemeriahan membahana! Janur dan umbul-umbul menandai kemeriahan pesta. Kota bersolek. Orang-orang berbaris dan bernyanyi. Sementara Kolonel Kalawa Mepaki dan Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua kemerihan itu.
Barisan Warga yang Bernyanyi,
Demokrasi…demokrasi…
Ini Pesta Demokrasi
Demokrasi… demokrasi…
Bergabunglah bersama
mengubah keadaan
Ayo mendaftarlah
Menjadi Presiden yang mulia
Kita tak cuma memilih
Tapi juga berhak dipilih.
Daftarkan ayo daftarkan
Siapa saja boleh ikut serta
Menjadi Presiden kita tercinta
Siapa tahu nasib sedang mujur
Anda terpilih dan hidup makmur
Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…
Kolonel Kalawa Mepaki bersama Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua keramaian itu dari suatu tempat. Orang-orang riang bernyanyi, berbaris, larut dalam kegemberiraan perayaan. Beberapa serdadu tampak bertugas sebagai Panitia Penerimaan Pendaftaran itu. Sampai kemudian Tuan Pitaya Mentala, memberikan pidato sambutan…
Tuan Pitaya Mentala, “Saudara-saudara sebangsa setanah air. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih jadi Presiden. Oleh karna itulah, siapa pun, baik yang merasa sehat mau pun tidak sehat jasmani dan rohaninya, wajib mendaftarkan dirinya. Yang tua, yang muda, ayo silahkan mencalonkan diri menjadi Presiden. Inilah saatnya ente-ente mengiklankan diri jadi pemimpin. Pendaftaran bisa secara langsung, atau lewat SMS. Tinggal ketik REG spasi PILPRES kirim ke Po Box 212. Keputusan pemenang bersifat mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Barangsiapa yang tidak mencalonkan dan mendaftarkan dirinya menjadi Presiden, maka akan dianggap membanggkang dan merongrong stabilitas Negara. Nah, sekarang silakan ente-ente pada mendaftar. Mohon antri yang tertib, jangan rebutan kayak antri minyak atau sembako.”
Dengan iringan musik, orang-orang itu pun antri mendaftar. Para Serdadu yang menjadi Petugas Pendaftaran, mencatat, memeriksa mulut atau mata atau ketiak orang-orang yang mendaftar itu. Begitu selesai, orang itu langsung berjalan menuju ke arah dimana Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya berada. Tuan Pitaya mengamati calon di depannya itu dengan ketelitian juru taksir profesional pegadaian. Atau mengingatkan pada blantik sapi yang dengan teleti mengamati sapi yang hendak dibelinya. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki langsung melemparkan koinnya, untuk memutuskan calon itu…
Kolonel Kalawa Mepaki, “Gagal!”
Lalu orang itu segera pergi, dan dilanjutkan giliran orang di belakangnya.
Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya, “Gagal!”
Dan orang itu pun segera pergi, dilanjutkan giliran orang di belakangnya.
Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya, “Gagal!”
Begitu seterusnya, Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya dan berteriak, “Gagal!”, sementara orang-orang berbaris antri, hingga tampak seperti sebuah prosesi pemilihan dengan segala kelucuannya. Ada juga orang yang setelah dinyatakan gagal, kemudian balik kembali ikut antri.
Tapi mendadak orang-orang yang tengah antri itu menjadi ketakutan ketika muncul Awuk. Seperti anjing yang ingin diperhatikan, Awuk pun menggonggong ke arah antrian orang-orang itu…
Awuk, “Hai…Haik… Hai…Haik… Haik…”
Orang-orang mencoba menyingkir, menghindari Awuk setiapkali ia mendekat dan menyalak. Tuan Pitaya Mentala segera mencoba mengatasi keadaan.
Tuan Pitaya Mentala, mendekati Awuk, “Berdasarkan konstitusi, anjing dilarang ikut Pemilu! Pergi! Pergi!”
Tuan Pitaya Mentala segera menyambit Awuk dengan batu. Awuk melolong kesakitan. Dan segera, orang-orang pun ramai-ramai melempari Awuk hingga Awuk terbirit-birit ketakutan. Setalah itu kembali musik menghentak. Kembali orang-orang bernyanyi rampak.
Nyanyian Orang-orang,
Daftarkan ayo daftarkan
Siapa saja boleh ikut serta
Menjadi Presiden kita tercinta
Siapa tahu nasib sedang mujur
Anda terpilih dan hidup makmur
Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…
Kemudian sayup dan menghilang.



Sebuah Monolog

S A R I M I N

Karya Agus Noor
1.

Tampak panggung pertunjukan, mengingatkan pada pentas kampung…

Para pemusik muncul, nyante, seakan-akan mereka hendak melakukan persiapan. Ada yang mumcul masih membawa minuman. Ngobrol dengan sesama pemusik. Kemudian mengecek peralatan musik. Mencoba menabuhnya. Suasana seperti persiapan pentas. Tak terlihat batas awal pertunjukan.

pemusik-opening.

Sesekali pemusik menyampaikan pengumunan soal-soal yang sepele: Memanggil penonton yang ditunggu saudaranya di luar gedung, karena anaknya mau melahirkan; menyuruh pemilik kendaraan untuk memindahkan parkir mobilnya, atau mengumumkan bahwa Presiden tidak bisa datang menyaksikan pertunjukan malam ini karena memang tidak diundang; pengumuman-pengumuman yang remeh-remeh dan bergaya jenaka… Atau menyapa penonton yang dikenalnya, bercanda, say hello, sembari sesekali menyetem peralatannya.

Kemudian mereka menyanyikan lagu tetabuhan, yang mengingatkan pada musik topeng monyet. Para pemusik bernyanyi dan berceloteh jenaka. Sementara ruang pertunjukan masih terang. Tertengar lagu tetabuhan yang riang…

Lalu muncullah aktor pemeran monolog ini atau Tukang Cerita. Terlihat jenaka menari-nari mengikuti irama. Hingga musik tetabuhan berhenti, dan Tukang Cerita mulai menyapa penonton dengan penuh semangat bak rocker,

TUKANG CERITA:
Selamat malam semuanya! Yeah!…

Wah, gayanya seperti rocker, tapi nafasnya megap-megap. Rocker tuek…

Senang sekali saya bisa ketemu Saudara semua. Ini kesempatan langka, bertemu dalam peristiwa budaya. Anda mau datang nonton pertunjukan ini saja sudah berarti menghargai peristiwa budaya, ya kan?! Hanya orang-orang yang berbudaya yang mau nonton peristiwa budaya. Jadi, bersyukurlah, kalau malam ini Anda merasa ge-er sebagai orang yang berbudaya. Soalnya, di negeri ini, manusia yang masuk dalam kategori manusia berbudaya itu lumayan tidak banyak. Jadi manusia berbudaya itu agak sama dengan badak bercula. Sama-sama langka.

Nah, salah satu ciri penonton berbudaya itu kalau nonton pertunjukan, selalu mematikan handphone. Ayo sekarang, silakan men-non atifkan-kan HP Anda, sambil berimajinasi seakan-akan Anda itu Presiden yang sedang men-non aktif-kan menteri Anda. Atau kalau selama ini Saudara punya bakat dan naluri membunuh, silakan diekspresikan bakat membunuh Saudara dengan cara membunuh handphone masing-masing.

Nanti, selama pertunjukan, juga dilarang memotret pakai lampu kilat. Nanti ndak jantung saya kaget. Di dalam gedung ini juga dilarang makan, minum atau merokok…. kecuali pemainnya.

Malam ini, saya akan bercerita tentang Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur: tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa cangkem.

Nah, dia dipanggil Sarimin, karena berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Agak aneh juga sebenarnya, kenapa nama Sarimin itu identik dengan topeng menyet. Begitu mendengar nama Sarimin, langsung ingatan kita… tuinggg… melayang ke topeng monyet.

Memang sih ada nama-nama yang identik dengan sesuatu. Yah, misalnya sepertu nama Pleki. Begitu mendengar nama Pleki, kita pasti langsung teringat pada… (sambil menunjuk ke arah pemusik).. anjing kampung. Atau nama Munir, misalnya. Nama munir selalu mengingatkan kita pada aktivis hak asasi yang mendapat berkah diracuni arsenik. Memang kebangeten kok yang ngracun itu, kok ya ndak merasa bersalah… Kita juga kenal Baharudin Lopa, yang identik dengan sosok yang jujur dalam hukum. Nama Gesang… identik dengan Bengawan Solo. Suharto… yang identik selalu mendadak sakit kalau dipanggil pengadilan. Atau Sumanto… Begitu mendengar nama Sumanto, kita langsung teringat…

Celetukan pemusik: “Kanibalisme…”

TUKANG CERITA:
Itu terlalu keren… Bukan kanibalisme, tapi ciak kempol! Atau yang sekarang lagi popular: Bondan Winarno… Begitu mendengar nama Bondan Winarno, langung ingat wisata kuliner… mak yuss…

Musik memberi tekanan dan membangun suasana…

TUKANG CERITA:
Sebagai tukang topeng monyet keliling, Sarimin lumanyan konsisten menekuni kariernya. Lebih kurang 47 tahun dia jadi tukang topeng monyet. Sekarang dia sudah berumur 54 tahun. Jadi kalau dihitung-hitung, dia sudah menjadi tukang topeng monyet sejak umur 7 tahun. Ini profesi yang diwarisi Sarimin dari Bapaknya yang sudah almarhum.

Mungkin Saudara pernah bertemu Sarimin. Atau pernah melihat Sarimin melintas di jalanan yang macet. Kemacetan yang sepertinya sengaja diselenggarakan oleh Gubernurnya.

Atau mungkin suatu hari Anda pernah secara sengaja berpapasan dengan Sarimin. Mungkin malah Anda sempat ngobrol sebentar berbasa-basi denganya… Tapi Anda tak lagi mengingatnya. Tampang dan nasib Sarimin memang membuat orang malas mengingatnya. Saking leceknya. Bajunya…

Tukang Cerita itu mengambil baju dari kotak pikulan topeng monyet yang ada di dekatnya.. Dan mulai di sini, pelan-pelan, Tukang Cerita itu mengubah dirinya menjadi tokoh Sarimin. Sambil terus bicara ia mengganti baju Tukang Cerita dengan pakaian Sarimin…

TUKANG CERITA:
Lihat saja bajunya… Setahun sekali kena sabun saja sudah lumayan… (Kepada para pemusik) Coba cium…, baunya… hmmm, mak brengg… Belum lagi celananya…Coba lihat… (sambil memakai celana itu). Selalu cingkrang…. Tapi ini cingkrang yang tidak menakutkan lho ya… Karena meski celananya cingkrang, tidak jenggotan.. Tidak suka merusak kafe-kafe atau tempat hiburan malam…

Sembari terus berubah menjadi Sarimin, menempelkan bermacam “asesoris” penyakit kulit di tubuhnya…

TUKANG CERITA:
Tubuh Sarimin juga full asesoris… Penuh tato emping, alias panu. Dia juga punya bisul yang nggak sembuh-sembuh. Ada kutil di lehernya… Kurap ada. Kadas, kudis, jerawat, koreng, kutu air…. Pokoknya segala macam jenis penyakit kulit tersedia lengkap di badannya.

Dengan segala macam anugerah penyakit yang dimilikinya itu, sudah barang tentu Sarimin bukanlah sosok yang menarik untuk Anda ingat. Sarimin bukanlah orang yang cocok untuk dijadikan monument ingatan. Makanya, saya pun akan maklum, apabila setelah menyaksikan pertunjukan ini Anda pun tetap tak akan mengingat Sarimin… Sekarang ini, yang paling sulit memang mengingat. Karena kita sudah terlalu l ama dididik keadaan untuk gampang lupa!

Musik menghentak, memberi tekanan perubahan suasana dan karakter. Kini aktor itu sudah sepenuhnya berperan menjadi Sarimin. Sementara musik tetabuhan topeng monyet berbunyi,sarimin-jalan2.jpg Sarimin mulai mengambil peralatan topeng monyetnya, kemudian mulai berjalan memikul peralatan topeng monyetnya, seolah mulai berjalan keliling menyusuri jalanan… Suasana makin meriah dengan teriakan suitan para pemusik yang mencelotehi tingkah Sarimin…
Sampai kemudin Sarimin mendadak berhenti, memandang ke bawah, ke dekat kakinya. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Segera Sarimin memungut sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan itu. Sebuah KTP. Sarimin dengan ragu-ragu memungut KTP itu. Memeganginya, memandanginya…

Pada saat inilah, lampu di bagian penonton meredup dan menggelap. Dan cahaya di panggung mulai mengarah pada Sarimin yang memegangi dan mengamati KTP yang ditemukannya itu: bergaya membaca nama di KTP itu, padahal ia tak bisa membaca… Baru kemudian ia menunjukkan KTP yang ditemukannya itu kepada para pemusik…

SARIMIN:
Ini KTP siapa, ya? Ada yang merasa kehilangan KTP tidak? Coba cek dulu mungkin dompet sampeyan jatuh.. Atau kecopetan… Gimana, ada yang merasa kehilangan KTP?

Para pemusik berceloteh menangapi, merasa tak kehilangan dompet atau KTP. Lalu Sarimin mencoba bertanya kepada para penonton…

SARIMIN:
Maaf, Bu… Pak… Ada yang merasa kehilangan KTP ndak ya? Ini tadi saya nemu…. Nanti kalau sampeyan ndak ada KTP kena razia Operasi Justisia lho… Bisa-bisa dianggap penduduk gelap… Ini KTP sampeyan bukan?

Celoteh Pemusik: “Mas, tanyanya yang sopan… yang halus…”

Lalu Sarimin pun bersikap sopan yang dilebih-lebihkan, bertanya pada para penonton sekali lagi,

SARIMIN:
Maaf, Bapak-bapak… Ibu-ibu… Apakah dari pada Bapak Ibu ada yang merasa kehilangan dari pada KTP? Tidak? Bener, dari pada Bapak Ibu ndak ada yang merasa kehilangan KTP?

Seorang Pemusik menyuruh Sarimin untuk membacakan nama di KTP itu, “Kamu kan bisa baca, di situ ada namanya…, nanti kan tahu itu KTP siapa?!”

Sarimin bergaya membaca tulisan di KTP itu, tetapi hanya bibirnya yang komat-kamit…

SARIMIN:
Eee, anu, mata saya ini rada aneh kok… Kalau buat mbaca langsung mendadak rabun… Lha ini, tulisannya mendadak ndak jelas… Gini ajah, gimana kalau sampeyan yang bacain…

Para Pemusik meledek Sarimin: “Allahh.., bilang saja nggak bisa baca. Nggak bisa baca ajah kok nggaya!”

SARIMIN:
Lho, siapa yang nggaya? Siapa yang ndak bisa baca? Mbok jangan menghina begitu. Sukanya kok ya menyepelekan. Jangan meledek orang yang ndak bisa baca… Banyak juga kok orang yang tidak bisa baca tapi ya sukses… Malah ada orang ndak bisa baca tapi jadi pemimpin…

Celoteh Pemusik: “Lho emangnya ada pemimpin yang nggak bisa baca?”

SARIMIN:
Ya ada… Gini saja kok ya ndak tahu…

Celoteh Pemusik: “Coba sebutkan, siapa?”

SARIMIN:
Pokoknya ada… Ndak usah saya sebutkan…

Celoteh Pemusik: “Bilang saja takut…. Hayo, coba sebutkan, siapa?”

Sarimin tampak bingung, terpojok karena terus didesak, mencoba menutupi ketakutannya. Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Ayo, coba sebutkan kalau berani…”

SARIMIN:
(Melihat-lihat ke arah penonton, masih ketakutan dan hati-hati) Ada Pasukan Berani Mati yang nonton ndak ya… (Sarimin tampak nggak berani menyebut)… Ya, pokoknya ada!

Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Iya, siapa? Sebutkan!”

SARIMIN:
(Berpikir sejenak, lalu menjawab) Prabu Destarata… Itu, pemimpin Hastina! Dia kan tidak bisa baca… Kalian mau memancing saya kan, biar saya menjawab Gus Dur… Ya ndak mungkinlah saya berani menyebut Gus Dur… Boleh kan pemain teater juga takut. Nanti kalau ada apa-apa ya kalian paling cuman bisa nyukurin… Bikin slametan begitu saya dipenjara…

Sarimin kembali menimang-nimang dan memandangi KTP itu.


SARIMIN:
Bener, ini bukan KTP sampeyan?… (Bingung menimbang-nimbang KTP itu) Ya, sudah, nanti sekalian saya pulang, saya tak mapir ke Kantor Pulisi… Dari pada repot, kan mendingan KTP ini dititipkan ke Pak Pulisi… Ya ndak? Nanti biar Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya…

Dan Sarimin pun kembali memikul kotak topeng monyetnya. Musik tetabuhan mengiringi perjalanan sarimin. “Sarimin pergi ke Kantor Pulisi…” teriak para pemusik riang bagai pertunjukan topeng monyet.

Tampak Sarimin berjalan menuju kantor pulisi.

Musik terus mengiringi perjalannan Sarimin. Pada saat inilah, aktor juga mulai menata setting untuk perpindahan adegan. Menggeser beberapa dekorasi hingga terjadi pergantian ruang…

2.

Ahhirnya, Sarimin pun sampai di Kantor Pulisi. Ia tampak kelelahan dan capai setelah berjalan jauh. Sarimin memperhatikan Kantor Pulisi itu, tanpak sepi. Tak ada Petugas Jaga. Ia sejenak clingukan, agak ragu memasuki halaman Kantor Pulisi itu. Ia berjalan pelan dan sopan mendekat…

SARIMIN :
Permisi, Pak Pulisi….Asalamualaikum, Pak Pulisi…

Mendadak nongol sosok Pulisi, yang langsung sibuk mengetik begitu mengetahui kedatangan Sarimin. Maka Pulisi itu pun tampak terus sibuk mengetik…

sarimin-ketemu-polisi.jpg

SARIMIN:
Wah…, Pak Pulisinya ternyata lagi sibuk… Sibuk kok ya mendadak ya…

Pulisi itu terus mengetik, mengabaikan Sarimin.

SARIMIN:
Ya sudah…, biar saya tunggu saja…(Lalu menjauhi Pulisi itu, sementara suara mesin ketik terus terdengar, membangun suasana) Yah, lumayan…, sambil nunggu bisa numpang istirahat… (Sembari memijit-mijit kakinya yang terasa pegal-pegal atau sesekali meregangkan badan atau mengeluk pinggangnya) Lagi pula saya juga lagi males keliling… Udah dari pagi keluar masuk kampung, tapi nggak ada yang nanggap. Capek juga kan seharian keliling tapi ndak dapet duit…

Sarimin mengeluarkan sebiji pisang dan mengupasnya. Kemudian terdengar suara monyet, yang nangkring di kotak topeng monyet itu. Monyet itu merajuk minta pisang yang dimakan Sarimin itu…

SARIMIN:
(Bicara pada monyet itu) Apa? Pingin?… Iya, iya…, nanti saya bagi…

Sarimin mengambil monyetnya dengan penuh perhatian, memangku monyet itu…

SARIMIN:
(Sambil mengelus-elus monyetnya, bicara kepada penonton) Oh ya, kalian belum kenal toh sama monyet saya ini… Lah ya ini yang namanya Sarimin… Kalau saya dipanggil Sarimin ya cuman karna kena efeknya saja… Itu disebut The Sarimin Effect…

Monyet saya ini bukan monyet sembarangan lho… Kalau ditelusuri garis keturunannya, dia itu keturunan monyetnya Si Badra Mandrawata…

Para pemusik heran: “Siapa itu?”

SARIMIN:
Si Buta dari Gua Hantu…

Suara monyet itu terdengar senang, seperti meloncat-loncat. Sarimin mulai menyuapi monyet itu dengan pisangnya.
sarimin-nyante-di-kanpol.jpg
SARIMIN:
Nih, kamu separo…

Tampak pisang yang dibaginya itu lebih kecil. Monyetnya tampak senang. Tetapi, begitu mau menyuapkan pisang itu ke monyetnya, pisang itu malah dimakan Sarimin sendiri. Hingga monyet itu berterak-teriak. Tapi Sarimin terus mengunyah pisang itu buat dirinya sendiri…

Melihat itu, Para Pemusik pun berkomentar: “Was, Mase ini, sama monyetnya sendiri kok pelit! Medit!”… “Sudah persis kayak monyet lho Mase ini kalau makan pisang gitu!”…”Ngirit, ya Mas?”

SARIMIN:
Kalian itu jangan salah faham. Ini bukan ngirit! Saya makan pisang begini ini karna saya lagi nglakoni ngelmu munyuk!

Tahu ngelmu munyuk, ndak? Ngelmu munyuk itu ya ilmu kebajikan yang bersumber dari munyuk. Ada kitabnya! Namanya Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk.

Sarimin segera mengambil sebuah buku tua dari kotak topeng monyetnya…

SARIMIN:
Nah ini kitabnya… Ilmu soal permonyetan ada di sini semua. Kenapa manusia disebut keturunan monyet, ada penjelasannya di sini. Juga soal Jaman Monyet… Nih… (membaca halman kitab itu) hamenangi jaman monyet. Sing ora dadi monyet ora keduman. Sak begja-begjane wong sing dadi monyet, isih luwih begja wong sing koyo monyet nanging kuoso…

Seorang Pemusik memotong: “Lho, kok mendadak situ bisa baca? Tadi katanya nggak bisa baca. Nggak konsisten!”

SARIMIN:
Ini aksara Jawa. Honocoroko. Kalau huruf Jawa saya bisa baca…

Gimana, mau tahu soal ngelmu munyuk, ndak?… Lihat nih, halaman 79… (membaca) Living English Structure… Lho, kok malah bahasa Inggris. Maaf, maklum saya belinya di loakan. Ini buku bajakan, jadi halamannya kecampur-campur. Nah, ini… halaman 67… Di sini dijelaskan, kenapa monyet suka pisang… Ini ada filosofinya. Ada maknanya.

Pisang itu buah yang murah. Artinya kita harus pemurah. Mau berbagi. Maksudnya, hidup kita itu seyogyanya ya seperti pohon pisang. Anda tahu kan pohon pisang? Setiap bagian dari pohon pisang itu semuanya berguna. Tangkai daunnya bisa ditekuk-tekut, dibuat mainan kuda-kudaan. Batang pohonnyanya buat nancepin wayang. Antok-nya, jantungnya, bisa dibikin sayur yang enak.

Celoteh Pemusik: “Kalau pelepahnya, Mas?”

SARIMIN:
Pelepahnya? Ya bisa buat mainan plesetan…. Daunnya bisa dipakai buat mbungkus… Atau bisa juga di pakai buat payungan kalau hujan. Bisa buat berteduh….

Berdasarkan ngelmu munyuk ini, pohon pisang sebenarnya mengajarkan kita agar tidak egois. Karena pohon pisang memang bukan pohon yang mementingkan dirinya sendiri. Pohon pisang itu beda dengan… pohon beringin, misalnya. Ini misalnya lho ya… Kalau Pohon beringin itu kan cuman mementingkan dirinya sendiri.

Kalian lihat sendiri kan, pohon beringin itu tumbuh besar, tinggi menjulang, rimbun, tetapi ia menyedot kesuburan pohon-pohon di sekelilingnya…

Celoteh Pemusik: “Ya, tapi kan Pohon Beringin bisa buat berteduh. Kan bayak itu kere-kere yang suka berteduh di bawah Pohon Beringin…”

SARIMIN:
Kalau yang suka berteduh sih bukan cuman kere… Tapi juga keple… lonte…

Makanya, kalau orang yang pinter, pasti ndak mau lagi berteduh di bawah Pohon Beringin. Seperti para Jenderal itu… Kan sekarang banyak Jenderal yang memilih membikin dan membesarkan pohon sendiri… Lebih senang membesarkan Pohon Gelombang Cinta… Seolah-olah mereka merasa masih dicintai rakyat.

Nah, kalau sampai ada Jenderal yang terus ngotot ikut berteduh di bawah Pohon Beringin, pasti agak diragukan kredibilitasnya: ini Jenderal apa lonte…

Membuka-buka halaman kitab itu dengan serius…

SARIMIN:
Makanya kalian mesti belajar ngelmu pisang. Pohon pisang itu selalu membiarkan anak-anaknya tumbuh besar. Sampeyan tahu, pohon pisang itu juga baru mati kalau sudah berbuah. Artinya, hidup kita itu berbuah. Mesti membuahkan kebaikan. Jangan sampai kita mati tapi belum sempat berbuat baik.

Celoteh Pemusik, agak meledek: “Kata siapa…”

SARIMIN:
Lah ya menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk ini… Kalau kalian baca kitab ini, pasti kalian ngerti ilmu sejati. Ini ilmu tidak main-main. Ilmu filsafat tingkat tinggi. Tidak sembarang orang bisa mempelajari. Otak anak-anak Jurusan Filsafat saja mungkin ndak nyampe kalau mempelajari ini. Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Pak Damardjati Supajar juga ndak level ama ilmu ini. Makanya mesti hati-hati. Karna bisa-bisa nanti kebablasen: begitu mempelajari ilmu sejati ini, langsung ngaku-ngaku jadi Nabi…

Ngelmu munyuk itu ilmu ketauladanan. Mangsud-nya, banyak ketauladanan yang bisa kita pelajari dari monyet. Karena kalau monyet suka pisang, sesungguhnya monyet itu sedang memberi kita tauladan hidup. Makanya, kalau sekarang ini ndak ada tokoh atau pemimpin bangsa yang bisa kita tauladani, kenapa kita ndak meneladani monyet saja? Ya, ndak?

Sementara itu terdengar suara ngorok…

SARIMIN:
Sudah ah, nanti saja lagi saya kasih tahu soal ngelmu munyuk-nya… (Seperti tersadar kalau sudah lama menunggu)… Dari tadi kok ya belum dipanggil-panggil ya….

Suara ngorok itu makin keras terdengar, ternyata datang dari Kantor Pulisi. Tampak ruangan kantor itu sepi, hanya terdengar suara orang tertidur ngorok…

SARIMIN:
Welah, Pulisinya malah ngorok…

Lalu Sarimin menuju meja jaga pulisi itu. Tak tampak pulisi. Hanya terdengar suaranya yang mendengkur keras…

SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya cuman mau nyerahkan KTP ini kok, Pak… Soalnya saya mesti pulang… Sudah sore….

Mendadak Pulisi itu bangkit, dan langsung sibuk mengetik. Terdengar suara mesik ketik yang langsung sibuk…

(SUARA) POLISI:
(Membentak, sambil terus mengetik) Tunggu saja dulu! Apa tidak liat saya lagi sibuk!

SARIMIN:
I..ya, Pak… Iya… Sibuk kok mendadak…

Pulisi terus terus mengetik, terus sibuk. Sementara Sarimin hanya bisa memandangi dengan tatapan tak berdaya. Merasa marah disepelekan, tetapi tak bisa apa-apa, hanya ngedumel…

SARIMIN:
Ama orang kecil kok ya selalu menyepelekan… Coba kalau ndak pakai seragam, sudah saya plinteng matane…

Sarimin hanya bisa menunggu. Tapi kemudian ia seperti sudah tak bisa menahan untuk kencing…

SARIMIN:
(Kepada penonton) Ee, tolong, nanti kalau Pak Pulisinya nyari, bilang saya kencing dulu ya… Ke toilet bentar.

Sarimin kemudian bergegas hendak ke toilet, tetapi mendadak terdengar bentakan:

(SUARA) POLISI:
Hai! Mau mana?!

SARIMIN:
Mau ke belakang, Pak…

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!… Nanti saya panggil!

Dengan terbungkuk-bungkuk sopan Sarimin akhirnya kembali duduk, tetapi tampak jengkel juga…

SARIMIN:
Gimana sih! Dari tadi cuman nyuruh tungga-tunggu… Mau kencing bentar ajah ndak boleh… Sok kuasa! Sok merasa dibutuhkan! Seneng kalau melihat orang menderita. Begitu kok ngakunya sahabat rakyat…

Sarimin tampak gelisah menahan keinginannya untuk kencing. Pada saat itu terdengar suara monyet yang menjerit-jerit, membuat sarimin gugup dan panik.

SARIMIN:
(Menenangkan monyetnya yang mulai rewel) Sstt! Jangan ribut, toh… Pak Pulisinya kayak buto galak. Nanti kamu dimarahin!

Monyet itu malah bertambah rewel, terus memekik-mekik.

SARIMIN:
(Terus berusaha menenangkan monyetnya) Apa? Haus? Pingin mimi, ya?

Mengambil botol air mineral dari kotak pikulannya, tetapi botol itu ternyata sudah kosong…

SARIMIN:
Wah, habis… Sabar, ya… Ntar minum di rumah saja ya… Cup cup cup… Bentar lagi kita pulang kok…

Tapi monyet itu makin rewel dan ribut…

SARIMIN:
Jadi monyet itu mbok yang sabar… Lama-lama kamu itu ketularan manusia lho! Ndak bisa nahan sabar! Dasar monyet asu!

Monyet itu terus memekik-mekik minta minum. Sarimin bingung. Ia melihat kepada Pulisi yang tampak sudah kembali tertidur bersandar di depan mesin tiknya. Melihat Pulisi yang lelap itu, maka Sarimin pun hati-hati menegendap-endap menuju toilet di bagian belakang…

Tampak silhuet Sarimin yang kencing, dan menadahi air kencingnya dengan botol.

Sarimin kembali muncul dan segera ia mendatangi monyetnya yang masih rewel. Dengan tenang Sarimin meminumkan isi botol itu ke monyetnya…

SARIMIN:
Nih minum… Enak, kan? Dijamin fresh from the batangan. Lagi ndak? Manis, kan? Lah wong saya kecing manis kok… Kalau gini ada untungnya juga lho kena diabet…

Sarimin terus meminumkan isi botol itu pada monyetnya, sampai kemudian monyet itu tampak tenang dan senang…

SARIMIN:
Monyet saya memang rada manja. Kalau sudah kepingin ndak mau ditunda. Paling repot ya kalu pas dia lagi birahi pingin kawin…

Seorang Pemusik nyeletuk bertanya: “Memangnya itu monyet jantan apa betina?”

SARIMIN:
Monyet jantang dong…

Pemusik: “Memangnya gimana sih caranya membedakan monyet jantan dan monyet betina?”

SARIMIN:
(Tampak sebel dengan pertanyaan itu) Ya gampang… Tinggal kamu kawinin. Kalau hamil, berarti monyet itu betina. Gitu saja kok repot! Mas, mbok kalau nanya itu yang cerdas, biar ndak bikin tambah jengkel… Maaf lho ya kalau saya jadi ketus… Kamu kan lihat sendiri, dari tadi saya sebel nunggu, lah kok malah ditanyain yang ndak mutu gitu! Sebel! Sebel! Sebelll!!! Makanya kalian jangan nambahin sebel saya…

Melihat Sarimin marah begitu, para pemusik langsung diam. Suasana jadi tidak enak. Sarimin hanya diam, gelisah, bingung nggak tahu mesti berbuat apa. Sampai kemudian Sarimin mengeluarkan beberapa alat atrasksi topeng monyetnya. Memain-mainkan payung kecil, gerobak kecil, dan lainnya. Mencoba membunuh kegelisahannya. Mencoba menyibukkan diri. Tetapi ia tetap merasa gelisah karena terus menunggu. Lalu ia melihat papan catur di atas kotak peralatannya. Ia mengambil papan catur itu, lalu mengajak para pemusik itu untuk menemaninya main catur…

SARIMIN:
Main catur yuk… Dari pada cuman bengong…

Tapi Para Pemusik tak menanggapi ajakan itu: “Ndak”… “ Mase nesuan, sih!”

Kemudian Sarimin membawa papan catur itu, mencoba mengajak para penonton untuk main catur dengannya,

SARIMIN:
Ayo, main catur yok… Masa segini banyak ndak ada yang pinter main catur? Ada yang jadi penyair, ndak? Biasanya kalau penyair itu pinter main catur… Soalnya job-nya dikit… Jadi banyak waktu luang buat main catur. Ayo, main catur…. Nemenin saya… Mungkin ibu-ibu atau mba-mba… Ayo, Mba…Main catur bareng saya…, dijamin tidak terjadi kehamilan…

Bener nih ndak ada yang mau main catur? Ya sudah kalau ndak mau… Biar saya main sama monyet saya saja…

Lalu Sarimin menata bidak catur itu, berhadap-hadapan dengan monyetnya…

SARIMIN:
Monyet saya ini lumayan cerdas juga kok kalau main catur…. Saya sudah melatihnya main catur sejak dia masih kenyung, masik kecil, masih balibul…

Seorang Pemusik bertanya: “Apa itu balibul?”

SARIMIN:
Bawah lima bulan… Kalau saja saya punya duit, pasti sudah saya sekolahkan di sekolah catur… Biar jadi Grand Master… Ayo, Min, sini, Min…

Kemudian Sarimin pun bermain catur dengan monyetnya. Suara monyet yang riang membuat Sarimin sedikit terhibur. Ia tampak senang bisa bermain catur dengan monyetnya…

SARIMIN:
Ayo cepet jalan…. Kamu duluan… Eh, eh… bentar… kamu putih apa hitam? Ya dah, kamu putih ya… Tapi aku jalan duluan lho ya…

Lalu Sarimin dan monyetnya segera main. Sarimin yang menjalankan bidak catur. Kemudian tampak bidak yang bergerak sendiri, seakan-akan tengah dimainkan oleh monyet itu. Keduanya tampak asyik dan serius.

SARIMIN:
Eeh, lho, kok mentrinya kok kamu makan… Ndak boleh… Monyet dilarang makan mentri… Yang boleh ciak menteri itu cuman mandatarisnya rakyat! Jangan sembrono lho kamu… Ayo ulang… Eh, tapi jangan ngeper gitu dong! Kamu ini kok sukanya ngawur gitu sih!

Sarimin kelihatan jengkel…

SARIMIN:
Curang! Curang kamu! Bubar! Bubar!…

Suara monyet menjerit-jerit sementara Sarimin dengan jengkel menutup papan catur itu dan menaruhnya kembali ke kotak pikulannya. Monyet itu menjerit-jerit marah…

SARIMIN:
Sudah, diam toh! Kok malah kamu yang marah. Mestinya saya jengkel. Sudah malem begini ndak dipanggil-panggil. Ngapain ajah sih tuh Pulisi! (Menengok ke arah Pulisi, yang tampak lelap tertidur) Allaahh, kok ya malah micek!

Sarimin mencoba mendekati Pulisi itu. Begitu sarimin sudah dekat dan hendak menyodorkan KTP, mendadak Pulisi itu bangun dan langsung sibuk mengetik. Suara mesin ketik yang sibuk membuat Sarimin hanya bisa neraik nafas jengkel.

Lalu Sarimin menjahui Pulisi itu. Dan begitu Sarimin sudah jauh, perlahan-lahan Pulisi itu pun kembali tidur, menyandarkan kepelanya ke meja mesin ketik.

Sarimin menengok ke belakang, melihat Pulisi yang kembali tidur. Maka Sarimin pun berbalik kembali mendekati Pulisi itu. Baru saja Sarimin mau mendekat, Pulisi itu langsung jenggirat bangun dan menyibukkan diri dengan mesin ketiknya. Melihat Pulisi itu kembali sibuk mengetik, maka Sarimin kembali merasa jengkel, tak berdaya, dan mencoba kembali menunggu. Dan begitu Sarimin menjauh, tampak Pulisi itu dengan penuh kemenangan tidur kembali…

Begitu seterusnya, setiap kali Sarimin mendekat, langsung saja Pulisi itu langsung bangun sibuk mengetik…

Sampai kemudian Sarimin tampak pasrah menunggu. Ia kini terlihat mengantuk. Menguap. Meregangkan badannya yang pegel karena lama duduk… Sarimin bangkit, hendak mendekati kembali Pulisi itu, tetapi Puisi itu langsung bangun dan membentak:

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!! Nanti saya panggil!!!

Sarimin, yang lelah dan tak tahu mesti berbuat apa, segera kembali duduk menunggu. Ia merebahkan tubuhnya di kursi tunggu itu. Mencoba tidur. Saat itulah sebentang kain perlahan turun, seperti langit malam yang menebarkan kegelapan. Terlihat silhuet Sarimin yang tertidur. Tampak cahaya bulan, malam dengan segala kesedihannya.

Nampak Sarimin yang bangkit, dan dengan setengah mengantuk mendekati Pulisi jaga itu. Tapi kembali Pulisi itu langsung membentak:

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!!

Dengan lunglai Sarimin kembali masuk ke balik tirai, kembali merebahkan tubuhnya. Tampak bayangan Sarimin yang tertidur di bawah redup rembulan.

Kemudian pagi datang, terdengar kokok ayam. Matahari yang cerah bangkit. Sarimin terbangun dari tidurnya, kaget…

SARIMIN:
` Astaga, sudah hari ke 192… Belum dipanggil juga….

Lalu malam kembali datang. Rembulan mengapung kesepian. Sarimin kembali tidur… Musik kesunyian seperti menghantar perubahan hari.

Dan ketika ayam kembali berkokok, matahari muncul, Sarimin pun langsung tergeragap bangun, dan mendapati dirinya masih menunggu…

SARIMIN:
Hari ke 347….

Karena tak juga dipanggil, sarimin pun kembali tidur. Musik yang galau bagai menggambarkan perasaan Sarimin yang gelisah. Cahaya menggelap. 2 Lalu Waktu bagai terus berputar. Di bagian layar belakang, muncul gambaran waktu berabd-abad…

Sementara waktu berubah, Sarimin terus menunggu, memandangi KTP yang entah milik siapa itu…

3.

Mendadak Tukang Cerita muncul dari sisi lain panggung. Pada saat yang bersamaan, silhuet Sarimin pada tirai itu lenyap.3

TUKANG CERITA:
Begitulah, Sarimin dibiarkan menunggu bertahun-tahun…

kembali-jd-tuk-cer.jpg

Sebagai Tukang Cerita saya perlu sedikit mengingatkan, agar Anda jangan terlalu menyalahkan para petugas itu. Jangan sampai Anda punya anggapan: seakan-akan para polisi itu menyepelekan Sarimin.

Sebagai warga negara yang baik dan yang percaya pada integritas dan profesionalitas polisi, kita harus maklum akan banyaknya urusan yang harus diselesaikan para polisi itu. Cobalah sesekali Anda datang ke kantor Polisi. Pasti Anda akan melihat betapa setiap hari polisi-polisi itu selalu tampak sibuk. Sibuk SMS-an… Sibuk ngobrol… Sibuk iseng ngisi TTS… Sibuk menginterogasi penjahat…. Sibuk menangkap bandar narkoba, sekaligus sibuk membagi-bagi barang buktinya…

Apalagi belakangan ini kesibukan Polisi itu makin bertambah… Karena para Polisi itu lumayan repot menahan para koruptor. Asal Anda tahu saja, menangkap koruptor itu pekerjakaan yang paling merepotkan. Karna begitu ada koruptor tertangkap, maka para polisi itu jadi punya kesibukan tambahan: sibuk menyiapkan karpet merah untuk menyambut koruptor itu… Sibuk menyiapkan sel tahanan dengan fasilitas VVIP… Dan yang terpenting: sibuk menegosiasikan pasal-pasal tuntutan yang saling menguntungkan.

Dengan segala macam kesibukan yang bertumpuk-tumpuk seperti itulah, menjadi wajar kalau Sarimin agak sedikit diabaikan.

Tapi untunglah… Untunglah, nasib baik agak sedikit berfihak pada Sarimin. Suatu pagi, ada petugas yang sedang bersih-bersih kantor polisi itu, dan secara tak sengaja melihat Saridin!

Musik tetabuhan transisi mengiringi perubahan Tukang Cerita itu menjadi Polisi. Aktor itu mulai mengenakan kostum untuk peran Polisi.

Dengan iringan musik, Polisi itu menata setting, untuk pergantian adegan. Menata meja kursi, seakan tengah berberes-beres. Musik mengiringi terus mengiringi adegan pergantian ini. Sampai kemudian Polisi itu menarik tirai yang menutupi kursi di mana Sarimin menunggu, seakan-akan ia tengah menarik tirai jendela. Saat tirai itu terangkat, Polisi itu kaget melihat Sarimin di kursi tunggu itu…

POLISI
Astaga! Ini kok ada kere di sini!!

muncul-polisi-dan-boneka-sarimin.jpg

Di kursi itu kini tampak boneka Sarimin, boneka yang secara visual mengingatkan pada sosok Sarimin…

POLISI:
Hai, ngapain kamu di sini?!

SUARA SARIMIN: 4
(Sambil menyodorkan amplop) Aa…nu, Pak.. Mau ngasih ini, Pak Pulisi…

Polisi itu memandang heran pada amplop di tangan Sarimin.

POLISI:
Apa itu? Ooo, kamu mau nyuap saya? Iya?! Oooo, hapa kamu pikir semua Polisi bisa disuap, begitu? (Penuh gaya) Huah ha haha… Maaf ya, Polisi seperti saya pantang menerima suap…. Tidak mungkin. Tidak mungkin… Polisi tidak mungkin mau menerima suap…

Mendadak dengan clingukan Polisi itu tengok kanan kiri melihat-lihat keadaan…

POLISI:
Tapi ya kalau nggak ada yang liat sih ya nggak papa… Berapa tuh isinya?

SUARA SARIMIN:
Ini bukan uang kok , Pak Pulisi… Isinya cuman KTP… Saya mau titip…

POLISI:
(Jengkel) Cuman KTP kok ya dikasihkan saya! Apa kamu nggak ngeliat saya banyak kerjaan… Kok malah ngrepotin mau titip KTP segala!

Dengan ngedumel jengkel Polisi itu akhirnya menerima amplop yang disodorkan Sarimin. Dengan tak terlalu suka Polisi itu memeriksa isi amplop itu. Benar. Isinya KTP. Mula-mula Polisi itu tak terlalu serius membaca KTP itu. Tetapi kemudian tampak tiba-tiba ekspresi Polisi itu langsung kaget. Ia membaca nama di KTP itu dengan teliti.

POLISI:
Astaga! Ini kan KTP Bapak Hakim Agung! Harataya…. Mbelgedes! Kok bisa KTP Bapak Hakim Agung sama kamu? Pasti kamu curi, ya?!

SUARA SARIMIN:
Ti…tidak, Pak Pulisi! Saya nemu di jalan…

POLISI:
Nemu di jalan mana?

SUARA SARIMIN:
Di jalan Taman Lawang, Pak Pulisi…

POLISI:
Edan! Oooo… Ini keterlaluan! Masa KTP Hakim Agung bisa jatuh di Taman Lawang… Tidak mungkin, tidak mungkin! Emangnya Hakim Agung suka keluyuran ke sana! Oooo, apa kamu kira Hakim Agung itu jenis mahasiswa yang nggak bisa bayar…, lalu ninggal KTP! Ooo jelas kamu mau mencemarkan nama baik Hakim Agung!

Ooo ini bener-bener keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan! Ayo ikut saya ke kantor!

Musik menghentak, black out. Tembang kecemasan terdengar. Kemudian ketika lampu menerangi panggung, tampak Polisi yang sudah berdiri di dekat meja interogasi, memandang Sarimin yang duduk di kursi, hingga Polisi dan Sarimin berhadap-hadapan.

POLISI:
Nggak usah gemeter begitu! Jawab yang jujur! Nggak usah berbelit-belit! Ngerti?!

Polisi itu (seakan-akan) memasang berkas kertas ke mesin tik di atas meja…

POLISI:
Nama?

SUARA SARIMIN:
Ee… saya biasa dipanggil Sarimin, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Sa-ri-min… (Lalu kembali menatap tajam Sarimin) Umur?!

SUARA SARIMIN:
Lima puluh empat, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Li-ma-pu-luh-em-pat… Hmmm… Pekerjaan?!

SUARA SARIMIN:
Tukang topeng monyet keliling, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Tu-ka-ng… to-pe-ng… mo-nyet… ke-li-li-ng… Sekarang coba kamu jelaskan, bagaimana kamu mencuri KTP ini…

SUARA SARIMIN:
Saya tidak mencuri, Pak Pulisi… Saya nemu KTP itu di jalan…

POLISI:
Saya tanya bagaimana kamu mencuri KTP ini, bukan bagimana kamu nemu KTP ini!

SUARA SARIMIN:
Lho tapi saya memang nemu KTP itu kok… Sumpah! Saya tidak mencuri!

POLISI:
Tidak usah pakai sumpah-sumpahan segala! Saya tahu kok modus operandi orang macam kamu! Pura-pura nemu KTP. Padahal dompetnya kamu copet! Iya tidak?! Pura-pura berbaik hati hendak mengembalikan KTP, padahal minta uang. Mau memeras! Kamu bisa kena pasal…. Sebentar… (mengambil buku KUHP dari sakunya) Hmmm… halaman berapa, ya… Oh ini… Kamu bisa kena pasal 362 dan 368! Pencurian dan pemerasan! Itu berate kamu bisa kena sepuluh tahun! Ngerti!

Sarimin tampak mengangguk-angguk…

POLISI:
Ngerti tidak! Jangan cuman manggut-manggut begitu! Nah, sekali lagi saya tanya baik-baik: kamu nyuri KTP ini kan?

SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… saya nemu di jalan…

Polisi itu mengambil pentungan, memain-mainkannya, memprovosasi Sarimin, sambil terus mencecar,

POLISI:
Nyuri apa nemu?

SUARA SARIMIN:
(Melihat itu Sarimin agak jiper juga) Ne..nemu, Pak Pulisi…

Polisi makin mencecar Sarimin…

POLISI:
Nemu apa nyuri?

SUARA SARIMIN:
Ne…ne..mu…

POLISI:
(Membentak keras, sambil seakan mau menggebug Sarimin) Nemu apa nyuri?!

SUARA SARIMIN:
I..iya.. Pak, Polisi.. Mungkin ada orang lain yang nyuri… Tapi saya cuman nemu kok, Pak Pulisi…

POLISI:
Oooo begitu ya…. Jadi ternyata kamu tidak sendirian. Orang lain yang nyuri. Dan kamu yang pura-pura nemu. Hoo ho hooo…, lumayan cerdik juga kamu, ya! Ho ho ho…kamu ketahuan, nyolong KTP!

Berarti kamu sudah merencanakan semua ini dengan komplotanmu, kan?! Ini kejahatan berkelompok dan terencana. Kamu dan komplotanmu hendak memeras Bapak Hakim Agung, begitu kan? Ooo… Ini namanya kejahatan berkelompok dan terencana!

SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… Saya tidak tahu kalau itu KTP Bapak Hakim Agung…

POLISI:
Mau mungkir, ya! Kamu kan bisa membaca nama di KTP ini…

SUARA SARIMIN:
Sa..ya ti..tidak bisa membaca, Pak Pulisi…

POLISI:
Astaga! OO ho hoho… Kamu bener-bener keterlaluan. Itu namanya menghina pemerintah! Kamu menghina pemerintah! Kamu mau menjelek-jelekkan pemerintah!

Sudah sejak tahun 74 pemerintah memberantas buta huruf! Sudah jelas-jelas pemerintah mengatakan kalau sekarang ini sudah bebas buta huruf! Lho kok kamu berani-beraninya ngaku buta huruf?! Apa kamu mau membuat malu pemerintah?! Mau mengatakan kalau pemerintah bohong, karena masih ada orang yang buta huruf macam kamu! Ooo… kamu bisa kena pasal… (memebuka-buka lagi buku KUHP-nya) Pasal berapa, ya… Kamu maunya kena pasal berapa?! Ooo… ini.., pasal137… Penghinaan pada pemerintah!

SUARA SARIMIN:
Lho, tapi saya memang ndak bisa baca kok, Pak Pulisi…

POLISI:
Sudah, nggak usah berbohong! Saya sudah terlalu sering ngadepin bandit kecil tapi licik macam kamu! Pura-pura kelihatan lugu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak bisa membaca. Tampangnya sengaja disedih-sedihkan, biar saya kasihan. Biar saya iba, lalu saya bebaskan… (Kepada para pemusik, yang seakan-akan kini adalah juga polisi) Ooo dia kira Polisi macam kita bisa dikibulin… Tukang kibul kok mau dikibulin!

Orang lugu macam kami inilah penjahat yang berbahaya! Karena selalu memakai keluguan sebagai kedok kejahatan…

Kejahatan tetap saja kejahatan. Tidak perduli kamu bisa baca atau tidak.

Polisi itu memperhatikan KTP itu pada Sarimin…

POLISI:
Lihat KTP ini sampai lecek begini, pasti sudah kamu simpan lama ya! Kamu pasti sengaja tidak cepat-cepat mengembalikan! Pasti KTP ini kamu pamerin ke temen-temen copetmu kamu! Pasti statusmu jadi naik di kalangan pencopet karena berhasil mencopet KTP Hakim Agung! Setidaknya kamu ingin dianggap hebat karenasarimin-diinterogasi2.jpg punya KTP Hakim Agung! Biar kamu disangka saudaranya Hakim Agung… Iya, kan?!
SUARA SARIMIN:
Tidak, Pak Pulisi… Sumpah… Wong begitu saya nemu KTP itu, saya langsung lapor ke sini kok… Tapi saya malah disuruh nunggu terus…

Mendengar jawaban itu Polisi langsung marah, dan mau memukul…

POLISI:
Kurang ajar! Apa kamu pingin saya gebugin kayak praja IPDN!…

Para Pemusik mencoba menengangan: “Sabar….sabar….”

POLISI:
Hati-hati kalau bicara! Kamu bisa kena pasal penghinaan pada aparat! Menuduh Polisi tidak cepat tanggap!

Kalau kamu memang bener-bener datang melaporkan soal KTP ini, pasti petugas jaga akan langsung menanggapi. Ooo ho ho… tidak mungkin, tidak mungkin polisi menyepelakan rakyat… Karna Polisi itu sahabat masyarakat!

Polisi itu di mana-mana selalu melindungi rakyat! Yah paling-paling ya ada polisi yang kesasar salah nembak rakyat… Tapi itu kan ya hanya insiden… Insiden yang kadang direncanakan….

Polisi kemudian mengambil berkas kertas di meja mesin tik, sambil menatap tajam pada Sarimin yang terdiam…

POLISI:
Sebagai Polisi, sudah barang tentu, saya pun harus melindungi kamu… Ngerti tidak? Makanya, kamu juga mesti pengertian… Ini, lihat (menyodorkan berkas kerast itu ke hadapan wajah Sarimin)…

Kesalahanmu sudah bertumpuk-tumpuk… Kalau berkas ini saya bawa ke pengadilan, kamu bisa dihukum lebih dari 20 tahun penjara… Bahkan mungkin lebih. Karna kamu mesti berhadapan dengan jaksa dan hakim, yang pasti tidak ssuka dengan kamu!

Asal kamu tahu saja, ya! Jaksa-jaksa itu selalu minta bayaran lebih banyak. Juga hakim-hakim. Sulit sekarang menemukan hakim yang baik. Kalau kamu nggak ada duit, pasti dengan enteng hakim itu kan menjebloskanmu ke penjara!

Kamu nggak ingin masuk penjara, kan? Makanya, kamu nurut sama saya saja. Nanti laporannya saya bikin yang baik-baik. Faham maksud saya?!

Tapi ya kamu tahu sendiri, itu perlu biaya. Ooo ho ho ho…. ini bukannya saya mau minta duit lho ya… Tidak! Saya tidak minta! Saya cuman menyarankan….

Para pemusik ikutan membujuk: “Iya, Min… Sudahlah, Min… Selesaikan saja secata adat ketimuran, Min…”

POLISI:
Tapi ya terserah kamu. Sebagai Polisi yang mengerti perasaat rakyat, ya saya hanya bisa membantu semampu saya. Saya ngerti, kamu tidak terlalu punya duit. Makanya cukup 5 juta saja.. Kalau kamu setuju, bekas ini langsung saya kip, dan kamu boleh pulang…

SUARA SARIMIN:
(Terpana tak percaya) Lima juta?… Saya ya tidak punya uang segitu, Pak Pulisi…

Tampak Polisi itu mencoba sabar dan pengertian,

POLISI:
Ya sudah… Karena kamu punya itikad baik, ya bisa dikurangilah. Tiga juta, gimana?

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu saya juga ndak punya…

POLISI:
Ooo ho ho ho… Ya, ya sudah…, jangan sedih begitu. Saya kan hanya menawarkan. Kalau kamu masih keberatan ya bisa disesuaikan semampu kamulah… Ngerti kamu?

SUARA SARIMIN:
I..i..iya, Pak Pulisi…

POLISI:
Nah, gimana kalau dua juta!

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…

POLISI:
Kalau satu juta ..

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…

POLISI:
Saya diskon lagi, deh Mumpung masih suasana Lebaran, jadi bisa diobral… Gimana kalau lima ratus ribu…

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya bener-bener ndak punya…

POLISI:
Seratus ribu deh…Ya, ya, seratus ribu! Hitung-hitung buat uang rokok. Oke?

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu juga saya ndak punya…

Kesabaran Polisi itu rupanya sudah sampai pada batasnya, dan ia langsung meledak marah,

POLISI:
Brengsek! Kamu bener-bener melecehkan saya! Dimana saya taruh harga diri saya alau segitu saja masih kamu tolak!

Memang susah kalau urusan sama orang miskin! Cuman dapat kesel Kalau kamu lebih suka ke pengadilan, silakan! Kamu bisa membusuk di penjara 50 tahun!

SUARA SARIMIN:
(Takjub dan heran tetapi juga tak berdaya) Cuman karna nemu KTP saya dihukum 50 tahun?

Polisi itu berdiri, dingin, tegas dan formal:

POLISI:
Hukum tetap hukum, Saudara Sarimin! Atas nama hukum dan undang-undang, Saudara Sarimin ditahan!

Musik menghentak. Dan lampu langsung menggelap seketika…

4.

Mengalun tembang sedih yang menyayat hati…

Lalu di layar bagian belakang perlahan muncul bayangan jeruji sel penjara. Lalu tampak bayangan Sarimin di balik jeruji sel penjara itu. Sarimin tampak termenung, tak berdaya. Tembang kesedihan terus menyayat kesunyian…

SUARA SARIMIN:
Apa salah saya, Gusti?… Apa salah saya…

Lalu mendadak muncul bayangan monyet Sarimin. Seperti muncul dari dalam mimpi Sarimin, seakan-akan itu ada dalam pikiran Sarimin. Terdengar suara monyet yang memekik-mekik…

SARIMIN:
Min? Sarimin… Itu kamu ya, Min? Lapar, Min?… Prihatin dulu, ya, Min…Banyak berdoa ya, Min… Biar saya cepet bebas. Doa monyet miskin dan teraniaya macam kamu kan biasanya didengar Tuhan, Min…

Bayangan monyet itu terus menjerit-jerit. Dalam bayangan itu pula, sesekali Sarimin mencoba mengusap dan menyentuh monyetnya…

Lagu kesedihan, yang juga terkesan agung menggaung, menjadi latar belakang adegan itu…5

Pak Hakim dan Pak Jaksa

Kapan saya akan di sidang

Sudah tiga bulan lamanya

Belum juga ada panggilan

Saya ingin cepat pulang…

5.

Lalu di penghujung lagu itu, musik berubah menghentak, bergaya hip-hop. Pada saat musik hip hop ini berlangsung, setting pun perlahan-lahan berubah. Bayangan Sarimin di balik jeruji penjara lenyap. Sementara di bagian lain panggung, segera tampak ruang tempat Pengacara.

Muncul Pengacara, tampak riang, dengan gaya genit cosmopolitan yang penuh gaya. Pengacara itu langsung menyuruh musik berhenti:

jadi-bensar-1.jpg

PENGACARA:
Hai, stop! Stop! Bah, kalian ini bener-benar tidak punya rasa keadilan! Ada orang dihukum malah hip-hop hip-hopan begitu! Cem mana pula kalian ini! Tunjukanlah simpati dikit!

Sembari bicara, pengacara itu merapikan diri, mengatur penampilannya. Memakai kalung emas dengan bandul initial namanya yang besar. Merapikan pakaiannya, merapikan gaya rambutnya, menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya… Sehingga tampak kalau ia lebih sibuk dengan dirinya ketimbang dengan apa yang dikatakannya…

PENGACARA:
Kalian itu mestinya prihatin, kenapa di negara hukum begini kok ada orang diperlakuan tidak adil! Ah, emang benar-benar sewenang-wenang Pak Polisi itu. Sebagai pengacara yang punya hati nurani, sudah tentulah aku tak bisa berdiam diri!

Pengacara terus sibuk merapikan diri, sampai kemudian ia seperti tersadar, dan segera bicara kepada penonton:

PENGACARA:
Sebentar…Kalian pasti merasa heran, kenapa pengacara kondang…, pengacara infotaimen macam aku ini, tiba-tiba nongol di lakon beginian.

Seharusnya tadi, Si Tukang Cerita itu, yang memperkenalkan aku lebih dulu. Menjelaskan, apa peran aku dalam lakon ini. Begitulah semestinya…

Tapi kupikir-pikir, kalau si Tukang Cerita itu yang memperkenalkan, nanti diledek-ledeknya pulalah aku ini. Mangkanya, kupikir-pikir lebih baik aku muncul saja langsung. Biar aku sendiri yang memperkenalkan diri.

Dengan penuh gaya menyemprotkan parfum ke lehernya…

PENGACARA:
Nama saya Bensar… Aku yakin kalian sudah tahu, dari mana aku ini. Tapi tak usahlah aku kasih tahu marga aku… Nanti aku kena somasi…

Aku di sini terpanggil karena ingin membela Sarimin. Kasihan kali orang itu. Kemarin aku sudah ketemu dia. Aku langsung jatuh iba. Tergerak hati nuraniku untuk membelanya habis-habisan.

Begitu Abang Bensar datang, Sarimin langsung tenang. Aku sudah jelaskan duduk perkaranya, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelamatkannya.

Aku bilang pada Sarimin, ”Sarimin, seharusnya kau ini malah merasa beruntung bisa masuk penjara. Susah lho ini masuk penjara… Coba itu kau lihat, banyak kali koruptor yang bermimpi bisa masuk penjara, tapi tak bisa-bisa masuk… makanya kubilang, kau ini benar-benar beruntung. Tidak berbuat salah, tapi masuk penjara. Itu prestasi luar biasa… Makanya Sarimin, tak usahlah kau takut! Ketaktan itu cumian soal pikiran. Kalau pikiranmu takut, maka takutlah kau. Makanya jangan kau berpikir hukum itu menakutkan. Hukum itu menyenangkan. Happy!

Kemudian Pengacara Bensar langsung merapikan bawaannya: tas golf beserta isinya. Ia Tampak riang bernyanyi-nyanyi gaya hip hop:

Happy happy

Hukum itu happy

Hukum itu menyenangkan

Hukum menguntungkan

Karna dengan hukum

Semua kesalahan

Bisa dinegosiasikan…

Hapy happy…

Hukum itu happy…

Sambil terus bernyanyi pengacara itu bergerak sambil mengubah setting panggung. Tampak kemudian sel penjara, di mana seakan-akan Pengacara itu berjalan dari rumah menuju ke sel penjara, tempat Sarimin di tahan. Dan Pengacara itu pun sampai di dekat sel Sarimin…

PENGACARA:
(Masih terus menyanyi) Happy happy…. Semua bisa Happy…

Sampai kemudian nyanyian berhenti. Dengan gayanya yang khas, Pengacara Bensar kembali menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya…

PENGACARA:
Bagimana Sarimin, apakah kamu merasa happy hari ini? Tenanglah, ini Abang Bensar sudah datang. Abang akan negosiasikan semua perkara kau.

Mengerti kau negosiasi?! Ah, sudahlah, tak usah kau berpikir yang berat-berat. Biar aku yang pikir saja gimana baiknya. Percayalah sama Abang…

Apa sih perkara yang tidak bisa abang selesaikan? Artis yang mau cerai…, begitu Abang tangani, dijamin langsung cerai. Terdakwa ilegal logging…, begitu Abang tangani, dijamin bisa langsung bebas kabur ke luar negeri…

Makanya, kau tenang saja di situ… Biar aku urus sebentar sama Pak Polisi. Biar lancar semuanya…

Lalu Pengacara berjalan ke arah belakang, seakan mendekati Polisi yang ada di pengacara-dan-wayang-polisi2.jpgbelakang. Dan Pengacara bensar pun berbicara dengan Polisi, yang tampak bayangannya, berupa wayang…


PENGACARA:
Ah, Apa kabar, Pak… Wah, tambah ganteng saja nih… Mungkin Bapak bisa tolong belikan makan atau minum buat klien saya… Nanti kembaliannya buat Bapak….


(SUARA ) WAYANG POLISI:
Maaf, dilarang membawa makanan dalam penjara!

PENGACARA:
Ah, aneh kali ini Pak Polisi… Kenapa makanan dak boleh masuk penjara? Narkoba saja bisa dibawa masuk ke penjara. Kimbek kali! Ingatlah Pak Polisi…, klien aku itu masih berstatus tersangka. Masih tahanan sementara. Jadi mesti kau hargai hak-hak pidananya.

(SUARA ) WAYANG POLISI:
Semua ada tata tertibnya. Ada peraturannya. Ada etikanya! Sebagai Pengacara, Saudara mestinya tahu itu!

PENGACARA:
Betul-betul aneh ini Polisi! Baru kali ini ada polisi mengajak bertengkar pengacara. Biasanya polisi macam kalian itu kan bertengkarnya sama tentara…

Tampak Pengacara Bensar kesal, dan segera meninggalkan Polisi itu. Ia segera kembali ke dekat sel penjara Sarimin.

PENGACARA:
(Kepada Sarimin) Biarlan nanti aku atur sama komandannya. Polisi emang suka berlagak begitu. Suka akting. Lagaknya kayak Politron… Polisi Sinetron…

Sekarang kau dengar… Biar semua gampang dan cepet beres, aku sarankan agar kau akui saja semuanya. Ini akan jadi kredit point yang bagus, karna kamu akomodatif. Artinya kamu dianggap bersikap baik Kalau kau bersikap baik, pasti nanti hakim akan member kau keringanan hukuman. Jadi, yang penting sekarang ini kau harus mengaku salah…

SUARA SARIMIN:
Mengaku salah bagaimana? Memangnya saya salah apa?

PENGACARA:
Aduuh! Kan tadi aku sudah bilang, tak perlulah kau membantah. Apa kau pikir kalau kau melawan kau akan menang. Jangankan orang kecil macam kau, majalah Time yang besar saja bisa divonis kalah kok! Makanya aku bilang, peluang terbaikmu adalah mengaku salah!

SUARA SARIMIN:
Iya… tapi salah saya apa?

PENGACARA:
Salah kau ya karna kau tidak mengerti kau berbuat salah! Bodoh betul kau ini ya… Kau pikir kau berbuat benar. Padahal kau berbuat salah. Kebenaran itu kadang menyesatkan, Sarimin. Kau bukannya benar, tetapi hanya merasa benar. Orang yang merasa benar itu belum tentu benar. Makanya ketika kau merasa benar, kau justru bisa bersalah. Karna benar, maka kamu salah!

Kau harus fahami betul itu. Makanya aku membantu kau, agar kau tidak tersesat di jalan yang kamu anggap benar itu! Kau mestinya beruntung aku mau jadi pembela kau.

Mendadak terdengar suara bunyi handphone, dengan nada dering yang norak… Pengecara Bensar dengan penuh gaya langsung mengambil handphone dari sakunya,

PENGACARA:
(Bicara di handphone-nya) Hallo sayang…Abang lagi sibuk nih. Lagi ketemu klien.. Sudahlah, kamu chek in dulu lah. Nanti Abang susul, ya…

Lalu mematikan handphone-nya, dan masih dengan penuh gaya bicara kembali pada Sarimin di balik selnya…

PENGACARA:
Maaf, bukannya gaya… Tapi ada klien lain yang mesti aku urus. Yah, maklumlah pengacara laris. Sudah pastilah orang miskin macam kau tak mampu membayar aku. Makanya kau mesti bersyukur, aku mau membela kau!

Aku tahu, banyak suara-suara miring di luar sana. Menganggap akupengacara mata duitan. Malah oleh kolega-koleganya saya sering distilahkan dengan pengacara begundal. Taik kucinglah semua! Pukima!

Sekarang aku mau buktikan, kalau aku juga punya perasaan keadilan. Aku juga mau membela orang lemah macam kau, Sarimin! Aku akan berjuang habis-habisan buat kau! Kalau perlu, nanti akan aku bentuk TPS… Tim Pembela Sarimin!

Memperlihatkan koran pada Sarimin…

PENGACARA:
Kau lihat ini… Kamu jadi berita di koran-koran., karna kau dianggap korban ketidakadilan..

Terlihat koran dengan berita Sarimin yang jadi headline itu kepada para pemusik. Pada saat bersamaan para pemusik segera bernyanyi, menghentak, dengan gaya hip hop yang rampak:

Sarimin jadi berita

Di koran-koran mendadak ia

Jadi ternama

Simbol korban ketidakadilan

Seolah-olah hukum adalah

Alat menindas orang yang lemah…

Seolah-olah tak ada lagi

keadilan di negri ini

Brengsek! Brengsek!

Hukum kita brengsek

Brengsek! Brengsek!

Semua orang bilang

Hukum kita brengsek!

Nyanyian berhenti. Pengacara itu kaget.

PENGACARA:
Apa kau bilang? Hukum kita kita brengsek?? Tidak betul itu! Hukum di negeri ini tidak brengsek… tapi luar biasa brengsek!

Kembali mendekati dan bicara pada Sarimin…

PENGACARA:
Tapi kita tak bolehlah putus asa… Aku yakin aku masih bisa membantumu, Sarimin. Aku jamin, kamu akan mendapat bagian keadilan. Memang kau tak akan menang. Tapi kau akan bangga, karena namamu akan dikenang. Kau akan jadi simbol dari perjuangan menegakkan keadilan. Ini peluang bagus buat kamu, Min… Artinya kalau kau nanti mati, kau tidak akan mati sia-sia!

SUARA SARIMIN:
Saya sudah tua… mati juga tidak apa-apa…

PENGACARA:
Eee, janganlah kau mati begitu saja. Nanti sia-sia aku membela kau!

Dengar ya, Min… Syarat untuk jadi simbol perjuangan, kau harus mati secara dramatis. Pejuang terkadang dikenang bukan karna apa yang telah dilakukannya, tetapi pada bagaimana cara matinya. Semangkin dramatis kematiannya, semangkin hebatlah dia…

Nah, makanya, nati biar aku aturlah sama Polisi itu, bagaimana baiknya cara kau mati. Aku sih kau mati dengan cara yang heroik. Mungkin diracun arsenik. Tapi aku kira itu bukan cara mati yang kreatif. Mesti lebih dramtis dikitlah. Mungkin kau disiksa lebih dulu. Di cabut sati persatu jari kau, lalu dicongkel mata kau… wah, itu kematian yang dramatis, Min! Gimana? Kamu mau kan?

Kalau kau mati dengan cara seperti itu, maka kematian kau itu akan dikenang sebagai korban kekejaman hukum. Namamu akan dijadikan monumen abadi… Itu berarti kau untung, dan aku pun untung. Itu primsip keadilan dalam hukum, Min! Kau untung jadi simbol ketidakadilan, aku pun untung karena jadi pembela korban ketidakadilan…

Pengacara itu nampak begitiu bahagia, memeluk tas golf-nya, mengambil kaca rias dan mengamati wajahnya, merapikan sisiran rambutnya, bahkan ia memupur pipinya dan mengoleskan lips gloss pada bibirnya, sambil terus berbicara…

PENGACARA:
Bayangkan, Min… Aku akan bisa mensejajarkan namaku di barisan para pejuang hukum. Pejuang keadilan! Ini peluang baik buat karier kepengacaraanku. Siapa tahu nanti aku bisa dapat Yap Tiap Him Award…

Makanya, Min, kau harus mengaku salah! Itu namanya kamu dapat karunia kesalahan! Kamu telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi orang yang salah…

SUARA SARIMIN:
(Begitu memelas) Saya ndak ngerti… Omongan sampeyan malah bikin saya bingung…

PENGACARA:
Jangankan kamu, saya sendiri kadang bingung dengan omongan saya kok… Maklumlah, Min, omongan pengacara…

SUARA SARIMIN:
Saya berbuat baik, kok malah disuruh ngaku salah… Menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk, berbuat baik itu ndak salah kok…

PENGACARA:
Eee, jangan ngacau kau. Bertahun-tahun aku belajar hukum, tidak ada itu…apa kau bilang tadi? Apa? Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk… Ahh, tidak ada itu kitab hukum macam itu! Ngaco kali kau!

Sudahlah! Kau ngaku salah apa susahnya sih! Bagaimana mungkin aku bisa membela kau kalau kau tidak bersalah.

Lagi pula Pak Polisi itu sudah bilang kau bersalah. Bagaimana mungkin kau masih saja merasa tidak bersalah, kalau Polisi sudang bilang kau bersalah.

SUARA SARIMIN:
Jadi saya harus ngaku salah?

Mendadak terdengar suara bentakan Polisi, bersama menculnya bayangan wayang Polisi…

SUARA POLISI:
Sudah ngaku saja salah. Sudah dibela masih saja ngeyel tak bersalah! PENGACARA:

Tuh, dengar apa kata Pak Polisi… Aku mau membela kau kalau kau mau ngaku bersalah, Min! Pengacara macam aku ini sudah terbiasa membela orang yang salah, nanti aku malah bingung kalau membela orang tidak bersalah. Makanya, kamu mengaku salah saja ya, Min…

Terdengar suara wayang Polisi, membentak Sarimin,

SUARA POLISI:
Kalau kamu ngaku salah, nanti saya atur sama Mas Pengacara…

PENGACARA:
Orang salah ngaku salah itu sudah biasa. orang yang bener tapi mau ngaku salah, itu baru mulia! Makanya kalau kau ngaku salah, kau akan jadi orang mulia!

Kembali suara wayang Polisi, membentak Sarimin,

SUARA POLISI:
Kamu tak punya pilihan, Sarimin! Kamu tidak bisa melawan hukum! Hukum telah menganggapmu bersalah!.. Bersalah!… Bersalah! Bersalah!…

Suara Polisi yang meninggi itu kemudian menjadi gema: “Bersalah! Bersalah! Bersalah!” Makin lama gema suara itu makin membahana, seperti mengepung dan mengurung Sarimin…

Bersamaan dengan itu, lampu perlahan-lahan meredup, menggelap. Hingga yang terdengar hanya gema suara Polisi dan Pengacara yang saling bersahut-sahutan, berulang-ulang, saling tumpuk, dan terus mengepung menggema:

GEMA SUARA PENGACARA:
Kau mesti beruntung karena menjadi orang yang terhukum, Sarimin!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!

GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!

Bersamaan dengan gema suara-suara itu, di bagian belakang layar muncul bayangan-bayangan yang berlesetan. Bayang-bayang wayang Polisi dan Pengacara, bayang-bayang yang bertumpuk-tumpuk, berkelebatan, kadang bayang-bayang itu membesar dan seakan siap menerkam, bersamaan dengan gema suara yang tumpang tindih dan berulang-ulang:

GEMA SUARA PENGACARA:
Kau harus merasa beruntung karena kau menjadi orang yang terhukum!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!

GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!

Di antara gema suara yang terus bersahut-sahutan itu terdengar rintihan Sarimin…

SARIMIN:
Ampun… Ampun…

Lalu suara-suara yang bergema itu perlahan menghilang. Ada kesunyian yang membentang. Lalu cahaya yang pucat dan layu bagai membelah kepedihan. Cahya itu menyorot ke Sarimin, yang tampak tak berdaya di balik jeruji sel penjara. Kesunyian yang menekan tampak bagai jaring yang meringkus Sarimin.

Pada layar di bagian belakang, muncul bayangan yang samar, simbolis, semacam Dewi Keadilan, sosok yang menggambarkan kehadiran Hakim Agung…

SARIMIN:
Maafkan saya, Bapak Hakim Agung…

Terdengar sosok Hakim Agung di bayangan layar itu berbicara pada Sarimin. Suara dingin dan datar:

SUARA HAKIM AGUNG:
Kalau saja saya bisa memaafkanmu, Sarimin…

SARIMIN:
Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Tapi hukum tidak bisa ditegakkan dengan maaf, Sarimin..

SARIMIN:
(Menghiba) Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Kamu jangan salah faham, Sarimin… Bukan saya yang menghukum kamu. Hukumlah yang menghukummu…

SARIMIN:
(Makin menghiba) Ampuni saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Hukum punya jalan keadilan sendiri, Sarimin.

Makin lama Sarimin makin menghiba dan mulai merangkak-rangkak, bersujud di bawak sel penjara…

SARIMIN:
(Makin menghiba tak berdaya) Ampuni saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Tak ada gunanya kamu merasa benar kalau hukum mengganggpmu tidak benar…

SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Biarlah hukum yang menentukan, Min… Bukan saya…

Di bagian layar itu pula, muncul bayangan monyet, yang menjerit-jerit, muncul di sela-sela gema suara Hakim Agung

SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan kamu… Hanya hukum yang benar…

Kembali terdengar suara monyet memekik-mekik…

SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan saya… Bukan kamu…

Sementara Sarimin terus menghiba memohon ampunan…

SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum… (Terdengar suara monyet)…

Suara Hakim Agung terus terdengar bertumpang tindih dengan suara pekikan monyet, sementara Sarimin terus merangkak-angkak, bersujud…

Sampai kemudian Sariin merasa aneh dengan gema suara Hakim Agung dan suara monyet yang bagai mengepung menerornya itu. Sarimin jadi termangu, memandang bingung ke luar penjara saat gema semua suara itu melenyap. Segalanya bagai di ruang hampa…

SARIMIN:
Aneh… Tadi itu suara Hakim Agung atau suara monyet ya?!

Gelap menyergap seketika. Black out!!
SELESAI.

Yogyakarta, 2007

Catatan-catatan tekhnis:

1 Nama ini boleh diganti, dengan nama penonton yang hadir. Penonton yang dikenal sebagai public figure, yang familiar dengan audience.

2 Di sinilah, secara tekhnis, aktor pembantu mulai menempatkan diri di balik tirai. Sementara aktor utama, pelakon monolog ini, bisa mempersiapkan diri mengganti kostum untuk adegan berikutnya.

3 Ini menjadi semacam trick pemanggungan: hingga muncul kejutan, seperti sulap, seakan aktor itu bisa berubah dalam sekejap. Padahal, yang di balik layar tadi adalah pemeran pengganti (yang secara postur dan bentuk tubuh, sama dengan aktor pemeran monolog ini)

4 Pada saat dan selama dialog Sarimin, boneka itu ‘bergerak’ mengikuti dialog. Secara tehknis yang menggerakkan boneka itu bisa crew artistik atau yang membantu. Tapi akan lebih bagus bila yang menggerakkan boneka itu justru aktor pemeran monolog ini sendiri. Di sini, secara tekhnis suara Sarimin juga bisa disuarakan oleh aktor monolog ini secara langsung dengan intoneasi dan karakter suara yang berbeda.

5 Di sini dipilih lagu dangdut “Tembok Derita”. Lagu ini dibawakan dengan gaya agung, bergaya Gregorian, hingga muncul semacam parody dari lagu dangdut itu, sekaligus menjadi gambaran suasana yang anomaly.



SIDANG SUSILA

Naskah: Ayu Utami & Agus Noor

OPENING

Suasana murung dan menekan.

Muncul serombongan Polisi Moral, yang berjalan menderap, tegas. Seakan mengawasi keadaan dengan sikap waspada dan curiga.Tampak segerombolan orang yang mengendap-endap menghindari Polisi Moral itu. Orang-orang itu ketakutan, langsung sembunyi begitu melihat Polisi Moral melintas. Sementara Polisi Moral itu terus berderap melintas, bagai menyebar ke seluruh penjuru kota. Mengawasi keadaan. Memasang bermacam tanda gambar yang penuh larangan.

Ketika para Polisi Moral itu akhirnya melintas pergi, segerombongan orang yang tadi mengendap-endap itu tampak gembira. Tampak mereka kemudian bersiap untuk menggelar tayuban.

SATU

Tayuban sedang berlangsung di sebuah tempat di pingiran kota…

Para penari tayub asik ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual, mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.

Muncul Susila, membawa pikulan berisi dagangannya: mainan anak-anak. Bermacam mainan anak-anak. Ada mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran, dll. Begitu melihat sesila muncul, Mira langsung menyambut dengan genit.

MIRA: Waduh Mas Susila… Ayo sini, Mas… ayo toh…

Beberapa penari tayub yang lain pun segera mengrubungi Susila, seolah Susila sudah akrab dengan mereka, sudah terbiasa datang ke tempat itu.

PENARI TAYUB 1: Kemana saja sih.. Kok lama nggak kelihatan…

PENARI TAYUB 2: Apa nggak ngerti kalo dikangenin…

PENARI TAYUB 1: Makin montok saja…

PENARI TAYUB 2: Montok apanya?

PENARI TAYUB 1: (Sambil mentowel susu Susila) Ya susunya toh ya…

MIRA: Ealahhh, sudah, sudah! Apa ndak liat kalo dia pinginnya sama saya!

Mira langsung menarik Susila untuk ikutan ngibing. Maka Susila pun segera menari. Tubuhnya yang tambun terlihat erotis tetapi juga lucu ketika menari. Gerakan tarinya komikal dan mengundang tawa. Sampai kemudian Susila terlihat kelelahan, lalu istirahat sembari kipas-kipas. Tubuh tambunnya yang berkeringat membuat ia sumuk, lalu mulai membuka kancing bajunya. Tampak susu Susila yang kimplah-kimplah. Mira mengelus-elus susu Susila, hingga Susila merem-meleki ganjen, sambil terus memandangi penari tayub itu. Seperti mengkhayalkan hal-hal yang erotis.

Muncul seorang lelaki, sikapnya hati-hati, mendekati Mira. Laki-laki ini segera menarik Mira, menjauhi Susila. Tampak Mira dan laki-laki itu berbisik-bisik, bercakap-cakap rahasia. Tampak lelaki itu memberikan segulungan ketas pada Mira. Mira memperhatikan kertas itu.

Susila tampak tertarik, dan mendekati Mira. Tetapi begitu melihat Susila mendekat, Mira segera cepat-cepat menggulung dan menyembunyikan kertas itu. Sementara lelaki yang tadi memberikan segulungan kertas pada Mira langsung menyelinap pergi…

SUSILA: Ada apa?

MIRA: Ndak apa-apa… Ayo sudah nari saja lagi…

Maka Mira pun langsung mengajak Susila menari. Suasana makin ramai dan gayeng. Mira langsung cekikikan genit ketika Susila menggelitik perutnya. Tayuban terus berlangsung. Tarian makin hot.

Mendadak terjadi kepanikan. Muncul beberapa Polisi Moral – yang langsung mengobrak-abrik tayuban itu. Para penari dan pengunjung yang lain langsung kabur. Susila yang bertubuh tambun terlihat kaget, bingung dan hanya melongo memandangi itu semua. Ia ingin ikut lari juga, tapi tubuhnya yang tambun tak bisa membuatnya bergerak cepat.

Beberapa Polisi Moral langsung mengepung Susila. Senapan-senapan dengan lampu infra merah mengarah ke tubuh Susila. Susila hanya mengangkat tangan kebingungan. Titik-titik merah terlihat memenuhi tubuh Susila. Susila hanya bisa pasrah ketika para Polisi Moral itu meringkusnya dengan jaring yang dilemparkan. Susila terlihat kebingungan, nggak ngerti dengan apa yang terjadi itu.

SUSILA: Lho, ada apa ini… Ada apa… Waduh…

Seperti mendapat tangkapan paus besar, para Polisi Moral itu langsung menyeret dan menggelandan Susila. Beberapa petugas itu langsung membawa dagangan Susila

SUSLA: Waduh… daganganku… Daganganku…

Para petugas yang meringkus Susila itu segera menggelendangnya. Memukulinya. Susila hanya bisa berteriak-teriak mengaduh kesakitan. Mereka exit.

Perlahan lampu meredup. Hanya terdengar teriakan dan lolongan Susila. Mengingatkan pada inkuisisi yang penuh kekerasan. Sayup-sayup suara Susila makin lemah dan menghilang.

DUA

Ketika lampu menyala di satu tempat, terlihat Ibu Jaksa penuh gaya memberi keterangan pers di hadapan wartawan yang mengerubutinya.

JAKSA: Tepat pukul kosong kosong lebih kosong kosong, Undang-undang Susila telah ditetapkan secara sah dan meyakinkan. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka secara resmi dan konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral. Untuk itu secepatnya kita juga akan menyusun Garis-garis Besar Haluan Moral Negara… Bertepatan dengan itulah, kami mencanangkan Gerakan Nasional Moral Bangsa untuk mencapai moralitas yang adil dan beradab. Kami sudah menggelar razia moral. Dan Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi…

Para wartawan mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan…

JAKSA: Tenang… tenang…Semua akan saya jawab… Tapi tolong dicatat yang baik. Jangan sampai salah kutip… Nanti saya mesti repot membuat bantahan.

WARTAWAN: Siapa yang ditangkap itu, Bu?

JAKSA: Detailnya nanti saya informasikan setelah penyidikan. Tapi yang jelas, orang ini adalah penjahat moral pertama yang berhasil kita amankan.

WARTAWAN: Kapan disidangkan?

JAKSA: Segera. Secepatnya. Ini prioritas kasus yang akan kami ungkap secara tuntas. Agar masyarakat tahu, kalau kita tidak main-main dalam menegakken Undang-undang Susila ini.

WARTAWAN: (Memotong dengan cepat) Bukankah Undang-undang ini bentuk lain dari represi moral?

JAKSA: (Langsung bernada membentak marah) Bagimana pun Sodara-sodara, pornografi dan pornoaksi harus kita babat! Karna begitulah, Sodara-sodara… Sebagaimana firman Allah. Moral masyarakat harus dijaga, Sodara-sodara. Kalau penjahat moral ini tidak segera dihukum, pasti masyarakat akan resah. Dia akan mengganggu ketertiban. Membuat hidup kita sengsara. Haleluya!

Perlahan di tempat lain, cahaya menerangi Susila yang sudah berada dalam sel. Dalam sel itu tampak tempat tidur kecil. Dan di sampingnya ada closet. Susila sedang duduk terkantuk-kantuk di closet itu. Sedang berak. Posisi duduknya mengingatkan kita pada pose patung The Thinker Augusto Rodin.

JAKSA: Berdasarkan laporan yang saya terima, orang ini boleh dibilang penjahat moral paling menjijikkan… Jorok.. Bau busuk…

Di dalam sel, Susila kentut begitu keras. Terdengar seperti suara orang terserang mencret, dan Susila sampai menutup hidung tak tahan dengan bau tainya sendiri…

JAKSA: Dia penjahat moral paling berbahaya. Karena itulah, kami menempatkannya di sel khusus, dengan penjagaan ekstra ketat.

Lampu di bagian Bu Jaksa meredup. Bu Jaksa dan para wartawan exit. Di panggung tinggal terlihat Susila yang masih duduk terkantuk-kantuk sedang berak di closet. Bersamaan lenyapnya Bu Jaksa itu, terdengar suara mencret yang menggelontor panjang. Dan Susila terlihat begitu lega…

TIGA

Susila bangkit dari closet. Ia menuju papan tempat tidur, duduk di situ dan memandangi selnya. Ia terlihat kebingungan dan tak mengerti kenapa ia berada di sel itu. Ia berusaha tiduran, tapi kerepotan karena tempat tidur itu begitu kecil dan sempit untuk tubuhnya yang tambun. Lalu ia bangkit, mengambil gelas seng yang tergeletak di pojok. Melihat isi gelas itu, lalu meminumnya, menenggak… Tapi rupanya gelas itu sudah kosong. Di tumpahkan ke telapak tangannya berkali-kali, tak ada setetes air pun menetes dari gelas itu. Ia terlihat berfikir sejenak, lalu tersenyum seperti memperoleh ide cemerlang… Susila pun segera meludah berkali-kali ke dalam gelas itu, lalu menenggaknya…

SUSILA: Lumayan…

Susila terlihat lega, terbebas dari rasa haus di kerongkongannya. Lalu Susila terlihat bingung lagi. Mengelus perutnya, merasa lapar. Segera ia memukul-mukulkan gelas seng itu ke jeruji besi, sambil berteriak-teriak memanggil.

SUSILA: Mas… Mas… Mas Pulisi… Mas… Mas Pulisi…

Susila terus memukul-mukulkan gelas seng itu ke jeruji besi, terdengar berisik. Sampai tiba-tiba muncul dua orang petugas, seperti pasukan anti teroris yang siap menyergap, mengacungkan senjata ke arah Susila. Melihat itu Susila langsung mundur ke belakang, kaget, sampai gelas yang dipeganginya jatuh…

SUSILA: Ampun … Saya cuma mau minta minum kok… Haus… (melihat sikap petugas yang serius siap menembak itu, ia jadi ketakutan juga) Ee… Ka…kalau tidak ya tidak apa-apa… Biar saya minum ludah saya sendiri lagi…

Susila beringsut hendak mengambil gelasnya. Ketika melihat Susila bergerak, dua petugas itu langsung mundur, seperti ketakutan dan berjaga-jaga kalau Susila bisa sewaktu-waktu menyerang mereka.

Susila mengambil gelasnya, meludah berkali-kali ke dalam gelas itu. Kemudian menenggaknya… Sampai ia gelegekan.

SUSILA: Uenak tenan… (Menyorongkan gelas itu ke arah petugas) Mau nyoba…

Petugas itu beringsut mundur ketakutan. Tapi tetap dengan senjata siap tembak. Muncul Petugas Kepala, mengamati Susila. Lalu memberi perintah pada seorang petugas.

PETUGAS KEPALA: Beri dia ransum!

Salah satu petugas dengan cekatan mengambil piring berisi sekerat makanan dan siap menyorongkan ke dalam sel Susila, tapi Petugas Kepala itu langsung membentak,

PETUGAS KEPALA: Tolol! Pakai tongkat pengaman!

Petugas itu langsung mengambil tongkat dengan pengait di ujungnya. Lalu petugas itu menyorongkan piring yang sudah dikaitkan di ujung tongkat itu ke dalam sel. Susila memandanginya dengan heran, bingung, tak mengerti. Tapi begitu petugas itu menjauh, Susila langsung saja menyamber makanan di piring itu, dan menyantapnya dengan cepat…

Para petugas memandanginya dengan waspada.

PETUGAS KEPALA: Semua siap?

KEDUA PETUGAS: Siap, Pak.

PETUGAS KEPALA: Saya ingatkan sekali lagi, agar kalian hati-hati. Selama interograsi, jangan sampai kalian bersentuhan langsung dengan pesakitan. Mana tabung antiseptiknya?

PETUGAS 2: (menunjukkan tabung semprot) Siap, ini Pak…

PETUGAS KEPALA: Itu buat berjaga-jaga. Langsung semprotkan antiseptik itu ke tubuh kalian, bila kalian terpaksa bersenggolan atau bersentuhan langsung dengan pesakitan itu. Biar virus pornonya langsung mati, dan kalian tidak tertular…

KEDUA PETUGAS: Siap, Pak…

PETUGAS KEPALA: Keluarkan dia…

Petugas 2 segera membuka sel. Senjata tetap waspada di tangannya. Petugas itu menyuruh Susila keluar. Sesila terlihat malas, dan agak mengantuk, garuk-garuk kebingungan melihat sikap para petugas itu yang memandang dan memperlakukannya begitu jijik. Setiap Susila berusaha mendekati petugas itu, langsung petugas itu menjaga jarak, takut bersentuhan dengan Susila.

Susila disuruh menuju Petugas 1 yang sudah siap di meja. Susila mengulurkan tangan bermaksuk salaman dengan Petugas 1 itu, tapi Petugas 1 langsung menarik tangannya menjauh, tak mau bersalaman…

PETUGAS KEPALA: Duduk!

Susila segera duduk di hadapan Petugas 1. Dan interograsi pun berlangsung. Petugas 1 (seakan-akan) mengetik semua jawaban Susila. Sementara petugas 2 siap di belakang Susila dengan senjata yang siap ditembakkan.

PETUGAS KEPALA: Cepat duduk!!

SUSILA: (Latah) Eh, iya duduk duduk…

Susila duduk di hadapan petugas 1

PETUGAS 1: Nama?

SUSILA: Susila, Pak…

Petugas 1 mengetik, begitu sepanjang interograsi.

PETUGAS KEPALA: Yang jelas! Siapa?!

SUSILA: (Latah) Ee, ya.. ya Susila, Pak… S. U. S. I. L. A. Itu yang tertulis di KTP. Su-si-la. Tapi lebih sering dipanggil Susilo. Maklumlah, pak, orang Jawa… huruf a diucapkan o…

PETUGAS 1: Yang bener Susila pakai a, atau Susilo pakai o?

SUSILA: Ya, Susila juga ndak papa, Pak… Soalnya kalau Susilo, nanti dikira nyindir…

PETUGAS 1: Lengkapnya?!

SUSILA: Susila Parna, Pak…

PETUGAS 1: Kok seperti orang Sunda? Tadi katanya Jawa?!

SUSILA: Kalau a-nya diucapkan o, kan jadi kedengaran mesum… Su-si-la jadi Su-si-lo… Par-na mestinya kan ya jadi Por-no toh, Pak… Eh, sebentar…Porno apa Parno ya? Parno.. Porno.. Porno.. Parno… Welah, kok malah bingung sendiri saya…

PETUGAS 1: Jangan berbelit-belit! Jawab yang jelas. Tidak usah mungkir. Awas, saya ceples pake penggaris batokmu! Nama lengkap?!

SUSILA: Susilo Porno, eh Susila Parna, Pak… Bener, Pak… Susila, Pak…

PETUGAS 1: Pekerjaan?!

SUSILA: Pedagang, Pak… Pedagang kaki lima…

PETUGAS 1: Pasti kamu jualan VCD porno!

SUSILA: Tidak, Pak..

PETUGAS KEPALA: Jangan mungkir!

SUSILA: (Latah) Eh mungkar mungkir..…. Mbok jangan bikin kaget toh, Pak… Saya jadi porno eh parno…

PETUGAS KEPALA: Jadi bener kamu jualan VCD porno…

SUSILA: Kok porno? Parno, Pak… Bener, Pak…saya jadi parno kalau kaget…

PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan kalender porno juga.

SUSILA: Kok porno terus sih…

PETUGAS KEPALA: Jawab yang jelas?! Barang-barang porno apa lagi yang kamu jual?! Kartu remi porno? Tabloid porno? Majalah porno?…. (tiba-tiba berbisik) Ada majalah Playboy tidak?… Bisa pesen satu? (kepada Petugas 1 yang terus mengetik) Yang tadi nggak usah diketik!

SUSILA: Saya nggak jualan gituan, Pak… Saya cuma jualan mainan…

PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan mainan sex? Apa saja itu? Kondom bergerigi? Viagra? Dildo? Vibrator? Boneka Barbie rasa strawberry? Vagina elektrik?… (hendak berbisik…)

SUSILA: (Langsung menebak) Pasti mau pesen, toh?… Saya nggak jualan gituan, Pak… yang saya jual itu cuma mainan anak-anak…

PETUGAS 1: Kamu itu jualan anak-anak, begitu? Berapa usia anak-anak yang kamu jual itu?!

SUSILA: Welah, bagaimana sih Bapak ini… Bukan jualan anak-anak, Pak… Jualan mainan anak-anak… Jadi yang saya jual itu mainan… Bukan anak-anak… Saya jualan mainan anak-anak, karena saya seneng sama anak-anak…

PETUGAS 1: Ya, ya… jangan kecepetan omonganya… Saya bingung ngetiknya… Jadi kamu itu menyukai anak-anak… berarti kamu itu fedofil… Iya, tidak? Jawab yang yang jelas…

SUSILA : (Jengkel, dan mulai tidak bisa mengendalikan emosi)) Yang nggak jelas itu siapa? Saya sudah menjawab jelas, malah situ yang pertanyaannya tidak jelas… Kan sudah saya jelaskan, saya ini penjual mainan. Masak begitu saja tidak jelas-jelas… (menarik tangan atau tubuh Petugas 1, agar mendekat) Pen-ju-al ma-in-an… Apa masih kurang jelas?

Petugas 1 langsung gugup ketakutan, berusaha melepaskan diri, dan langsung berteriak-teriak.

PETUGAS 1: Antiseptik! Cepat! Cepat antiseptik…

Petugas Kepala segera menyemprotkan antiseptik ke tubuh Petugas 1, sementara petugas dua langsung mengokang senapan. Mengancam Susila. Suasana menjadi begitu panik.

PETUGAS KEPALA: Cepat giring ke sel! Cepat!

Dibawah ancaman senjata, Susila di dorong masuk sel. Susila terlihat bingung dengan semua kepanikan itu. Sel segera dikunci. Petugas 1 masih terlihat gemetaran, ketakutan. Petugas kepala terus menyemproti tubuh Petugas 1 dengan antiseptik – yang bentuknya bisa saja seperti semprotan Baygon cair, atau Hairspray atau tabung penyemprot hama sebagaimana dipakai para petani itu.

EMPAT

Muncul Hakim, Jaksa dan Pembela, ketiganya menyaksikan petugas kepala yang sedang menyemprotkan semprotan antiseptik ke tubuh Petugas 1. Sementara Susila sudah terkunci kembali dalam sel. Pada adegan ini, blocking Pembela selalu berada di belakang, seakan tak ingin ketahuan. Pembela itu terlihat menjaga jarak, bahkan sering menjauhi Hakim dan Jaksa – seperti ada yang disembunyikan. Terutama, Pembela selalu menjaga jarak dengan sel dimana Susila terkurung.

Petugas Kepala terkejut dengan kemunculan tiga pejabat itu, yang terkesan mendadak.

HAKIM: Maaf kami datang mendadak… (Menyerahkan koran kepada petugas kepala, yang segera membacanya) Kita berkejaran dengan waktu. Kasus ini menjadi head line semua media. Pers terus-terusan mem-blow up penangkapan ini. Semua mendesak agar persidangan dilaksanakan secepatnya.

PETUGAS KEPALA: Kami sedang memprosesnya… Saya jamin semua akan lancar dan tepat waktu. Cuma tadi ada insiden kecil. Pesakitan itu menyerang anak buah saya.

Hakim dan Jaksa kaget dan beringsut menjauhi Petugas 1…

PETUGAS KEPALA:enang… Saya sudah menyemprotkan antiseptik.

JAKSA: Bisa kami melihat pesakitan? Kami hanya ingin memastikan pesakitan siap menjalani sidang…

PETUGAS KEPALA: Silakan…

Jaksa dan Hakim segera menuju ke sel. Keduanya segera menyorotkan lampu senter yang dibawanya ke arah Susila yang meringkuk tak berdaya dan kebingungan dalam sel. Mereka menyenter Susila, seperti tengah meneliti binatang buruan yang berhasil mereka tangkap. Susila menutupi matanya, silau oleh sorot lampu senter itu. Hanya pembela yang mengamati dari jarak agak jauh.

HAKIM: (Sambil terus menyorotkan senter ke Susila) Waduh, waduh… memang porno banget orang ini… Lihat itu susunya…. (menelan ludah) momplok-momplok montok banget…

JAKSA: (Batuk-batuk kecil) Eghm… Eghm… Ingat Bapak Hakim… dilarang terangsang di muka umum… Itu melanggar undang-undang.

HAKIM: Siapa yang terangsang… (Menelan ludah, ekspresinya penuh birahi)… Saya hanya mengatakan kalau susu pesakitan ini memang gede banget… Susu paling gede yang pernah saya lihat… Bukankah begitu saudara Pembela? Coba lihat…

PEMBELA: (Kaget, menghindari melihat Susila secara langsung) Eh, iya… iya… saya kira itu memang susu paling gede sedunia…

JAKSA: Itu susu paling berbahaya se dunia! Karena itulah kita menangkapnya. Susu itulah yang menjadi sumber penyakit moral!

HAKIM: Rileks sedikitlah, Bu Jaksa… Kita kan tidak sedang di ruang sidang…

JAKSA: Maaf, standar moral saya jelas. Di dalam atau di luar sidang kita mesti menjaga moralitas kita. Ingat, Bapak Hakim, saat ini kita sudah memasuki Orde Moral. Orde Susila. Orde yang mengatur semua moral dan susila kita.

HAKIM: Tidak perlu menyeramahi saya soal itu, Bu Jaksa… Apakah Bu Jaksa meragukan standar moralitas saya?!

Jaksa dan Hakim saling tatap, kemudian Jaksa mendengus membuang muka. Hakim segera menghampiri Pembela yang terlihat menjauh dan gugup.

HAKIM: Kenapa gugup, Saudara Pembela?

PEMBELA: Bapak hakim tahu… ini kasus pertama yang saya tangani. Jadi saya masih nervous… Apalagi menurut saya ini perkara yang terbilang luar biasa…

HAKIM: Apa kamu tidak ingin melihat pesakitan?

PEMBELA: Tentu, Bapak Hakim… Saya ingin berbicara dengan klien saya. Tapi, biar nanti saja… Ee, mungkin saya perlu minta waktu khusus. Ee, maksud saya, saya perlu bicara berdua saja dengan klien saya.

HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Bagaimana? Apa kamu bisa jamin soal kemananannya?

PETUGAS KEPALA: Saya bisa tempatkan seorang petugas untuk berjaga-jaga…

PEMBELA: Terimakasih… Tapi saya hanya ingin berdua dengan klien saya. Ini untuk kepentingan pembelaan… Percayalah, saya cukup bisa menjaga diri.

PETUGAS KEPALA: (Setelah menimbang-nimbang) Baiklah… Tapi ingat, jangat terlalu dekat dengan pesakitan…

Lalu Hakim, Jaksa, Petugas Kepala dan para petugas, semuanya exit. Tinggal Pembela dan Susila yang masih merungkuk di selnya.

LIMA

Pelan Pembela mendekati sel Susila, menyorotkan senter ke arah Susila. Lalu Pembela memanggil Susila dengan pelan dan hati-hati,

PEMBELA: Sstt… Bangun… Bangun… Ayo bangun… Ada yang harus kita omongkan…

Susila menggeliat…

SUSILA: Saya kok sepertinya kenal kamu, ya?

PEMBELA: Saya yang akan membela kamu… Cepat ke sini…

SUSILA: (Mengingat-ingat) Kok kamu seperti…

PEMBELA: Ssttt… Sudah jangan banyak omong…

Susila mendekati jeruji selnya. Dan ketika mereka sudah berdekatan, lalu lampu senter itu menyorot juga ke wajah Pembela, Susila segera tahu…

SUSILA: Lho, kamu kan Utami, to? Kamu anaknya Ngadimin… Masih ingat tidak, saya Pakdemu.. Pakde Sus…

PEMBELA: Iya, Pakde… Saya Utami…

SUSILA: Piye kabarmu, nduk… Ayu bener Utami kowe saiki… Wah wah Utami, Utami…tambah semok kamu… Wis lulus sekolahmu? Saya denger sekarang kamu jadi pengarang cabul…

PEMBELA: Ssssttt!!! Sudah, nggak usah banyak tanya-tanya…

SUSILA: Walah-walah kok ya wis gede banget toh susumu… Wong dulu waktu kamu saya gendong-gendong, masih kecil kayak pentil kok…

PEMBELA: Ssttt!!! Pakde ini ndak berubah! Mesum terus. Pantesan Pakde ditangkap kayak gini!

SUSILA: Masak begitu…

PEMBELA: (Langsung memotong, tegas) Sudah! Pakde dengarin saja apa yang saya katakan… Nanti di persidangan, saya yang jadi pembela Pakde… Tapi nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya… Jangan sampai orang-orang tahu, kalau kita masih ada hubungan darah.

SUSILA: Kamu malu ya seduluran sama Pakde…

PEMBELA: Sudah, toh. Pakde manut saja. Nurut apa yang saya katakan. Ini strategi, Pakde. Biar kita bisa menang sidang. Kalau nanti ketahuan kita masih famili, saya sendiri yang repot. Nanti saya malah diserang, dihabisi…

SUSILA: Dihabisi bagaimana?

PEMBELA: Sssttt.. Sudah toh. Saya tidak suka dibantah. Sudah, jangan ngeyel!

SUSILA: Lho tapi kan kita memang ada hubungan darah… Kalau tidak, ya sudah lama kamu saya tumpaki…

Terdengar seperti ada langkah-langkah kaki Petugas yang mendekat, membuat gugup Pembela…

PEMBELA: Kalau ketahuan saya famili Pakde, saya akan dicap tidak bersih lingkungan! Nanti saya tidak bisa membela Pakde.

Suara langkah itu seperti makin mendekat…

PEMBELA: (Celingukan mendengar suara-suara itu) Pakde ngerti kan maksud saya? Ini juga buat kebaikan Pakde sendiri…

Suara langkah kaki itu makin mendekat, membuat Pembela itu ketakutan dan buru-buru menyelinap pergi…

PEMBELA: (Berhenti sejenak dan kembali berkata pada Susila) Ingat…, nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya.

Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan ruangan itu sudah terkepung ribuang langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru…

ENAM

Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat-beratnya”, “Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”, dan lain-lain. Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang dibawanya, dan bernyanyi:

Langit hitam penuh kemesuman

Kita bergerak harus meringkusnya

Kebebasan jadi ancaman

Pikiran kotor harus dibersihkan

Yang berbeda harus disingkirkan

Moral Negara harus ditegakkan

Kita bergerak untuk ketertiban

Pornografi telah mengancam

Pikiran kotor harus dibersihkan

Yang berbeda harus disingkirkan

Penjarakan Susila… Penjarakan Pikiran

Penjarakan Susila… Penjarakan kemesuman

Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…

Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…

Begitu seterusnya diulang-ulang “penjarakan Susila… penjarakan Susila…”, hingga rombongan itu menderap keluar, exit, dan suara nyanyian itu terdengar makin menjauh.

TUJUH

Muncul seorang petugas, memberikan pengumunan menjelang sidang. Petugas itu membawa kentongan, kemudian memukulnya beberapa kali..

PETUGAS: Mohon perhatian. Sidang Susila dengan nomor kasus 001 antara Negara melawan Susila Parna, segera digelar di Pengadilan Tinggi Negeri Tata Susila. Harap semua tenang. Segala macam alat elektronik dan telepon selular harap dimatikan, karena akan menggangu sistem navigasi persidangan…

Petugas memukul kentongan lalu Hakim muncul diikuti Jaksa dan Pembela. Begitu Hakim, Jaksa dan Pembela on stage, petugas itu exit.

Hakim membuka siding,

HAKIM: Pesakitan harap segera dibawa ke ruang sidang!

Suasana mencekam. Susila muncul dikawal seorang petugas dengan senapan siap ditembakkan. Kemunculan Susila mengingatkan pada penjahat psikopat yang sadis, dimana kaki dan tangan Susila dirantai, sementara kepala dan wajahnya ditutup dengan ikatan dari kulit warna hitam. Mulut Susila ditutup dengan semacam keranjang, seperti penutup mulut anjing galak. Sementara sebuah kayu dipasangkan menyilang ke sebalik dua tangan Susila. Dalam todongan senjata Petugas, Susila segera didudukkan ke kursi terdakwa.

Melihat Susila diperlakukan seperti itu, Pembela langsung memprotes keras.

PEMBELA: Maaf, Bapak Hakim! Apa ini tidak terlalu berlebihan?! Klien saya bukan psikopat. Dia bukan sejenis Sumanto soloensis, yang suka memakan daging manusia. Klien saya sama sekali tidak membahayakan.

JAKSA: Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling berbahaya.

PEMBELA: Itu terlalu dilebih-lebihkan, Bapak Hakim. Klien saya tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang membahayakan. Klien saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik… Satu hal lagi, Bapak Hakim, saya keberatan dengan penggunaan istilah pesakitan bagi terdakwa. Bagaimana pun dia tetaplah berstatus terdakwa, bukan pesakitan.

JAKSA: Harap diingat Sodara Pembela. Ini bukanlah sidang pidana atau perdata biasa. Ini adalah sidang tindak susila. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Susila, para pelanggar susila dengan sendirinya adalah orang yang sakit. Orang-orang sakit jiwa. Orang yang berpikiran gila. Orang yang otaknya ngeres. Orang yang pikirannya dipenuhi gagasan pornografi dan pornoaksi. Itulah sebabnya para pelanggar susila adalah orang-orang yang hidup dalam gelimang dosa, Sodara-sodara… Mereka sungguh-sungguh orang yang berbahaya, Sodara-sodara… Ukuran bahaya tidak semata ditentukan dengan tindakan fisik. Tapi juga pikiran! Dan kejahatan yang disebarkan pikiran, sudah barang tentu jauh lebih membahayakan, Sodara-sodara…

PEMBELA: Itulah yang saya anggap berlebihan! Bagaimana pun klien saya sebagai terdakwa belum tentu bersalah, sampai pengadilan membuktikannya bersalah. Karena itu saat ini sangatlah tidak tepat mengatakan dia sebagai pesakitan. Dan satu hal lagi, kita ini hendak menyidangkan perbuatan atau pikiran?!

JAKSA: Sidang tindak susila bukan hanya berkait tindakan-tindakan yang asusila, tapi juga pikiran-pikiran yang asusila. Ingat, Bapak Hakim, yang kita sidangkan ini bukan hanya perbuatan pesakitan. Tapi juga pikiran pesakitan. Pikiran yang dipenuhi gagasan-gagasan mesum dan cabul. Gagasan-gagasan yang menyebarkan penyakit asusila. Dan kita tahu, Sodara-sodara, penyakit asu-sila, lebih cepat menular dibanding penyakit asu-gila!

PEMBELA: Rupanya Saudara jaksa menderita paranoid…

JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide komunisme…

JAKSA: (Bereaksi keras) Saya tetap keberatan! Itu sama sekali tidak relevan!

Hakim langsung memotong.

HAKIM: Mohon Saudara Pembela menjaga sikap. Ini ruang pengadilan, bukan pasar hewan. Ya, meski pun saat ini sulit membedakan antara pengadilan dan pasar hewan, saya harap Saudara Pembela bisa menjaga kesopanan…Lagi pula, saya kan belum membuka sidang…

PEMBELA: (Seolah tak memperdulikan peringatan Hakim) Saya tetap keberatan dengan semua penyataan Saudara Jaksa yang terlalu berlebihan…

JAKSA: Semua perkataan saya berdasarkan bukti dan fakta!

PEMBELA:Fakta yang mana? Bukti yang mana?

Melihat Jaksa dan pembela makin keras bertengkar, Hakim kembali mengetok palu sidang, memotong!

HAKIM: Sudara Pembela dan Jaksa!!! Bicaralah yang pelan. Saya jantungan! Sini… (memberi kode agar Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap kalian bisa bekerja sama menjaga jalannya persidangan. Saling pengertian begitu… Seperti kalau biasanya kalian lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya belum lagi membuka sidang, lha kok kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota dewan kurang kerjaan…

Kemudian Hakim dengan penuh wibawa mengetokkan palu sidang. Sidang telah dibuka! Jaksa dan Pembela yang sama-sama siap bertempur berada di posisi masing-masing.

HAKIM: Mohon petugas melepas kepala Pesakitan… Maksud saya, melepas tutup kepala Pesakitan…

Seorang petugas segera mendekati Susila. Petugas itu berdiri sebentar di depan Susila, kemudian segera memakai sarung tangan karet sebagaimana yang dipakai dokter ketika hendak melakukan operasi, kemudian begitu hati-hati membuka ikatan kepala dan mulut Susila. Begitu tutup mulut itu terbuka, Susila terlihat sangat lega. Petugas segera menyingkir, kembali berjaga.

Susila memandangi Pembela, seperti ingin menyapa. Tapi Pembela segera melengos, pura-pura tidak mengenal Susila. Pembela terlihat gelisah, apalagi ketika Susila seperti hendak memangil nama Pembela…Untunglah Hakim segera memulai sidang…

HAKIM: Saudara Pesakitan… Harap perhatikan kemari! Apakah benar, nama Saudara adalah Susila Parna?

SUSILA: Dalem, Pak Hakim…

HAKIM: Apakah Saudara Pesakitan dalam keadaan sehat?

SUSILA: Dalem, Pak Hakim… Syukur alhamdulillah, saya sehat jasmani dan rohani. Ya, cuman agak sedikit mengalami gangguan ejakulasi dini… Burung saya, Pak Hakim… (Bersin) Hachi…

Hakim dan semua yang hadir di ruang sidang itu langsung menutup hidung mereka.

SUSILA: Burung saya… (Kembali bersin) Hachi… sedikit flu…

HAKIM: (Membentak, mengetuk palu keras) Saudara Pesakitan jangan berbelit-belit…

SUSILA: (Kaget, dan latah) Eh silit.. eh sembelit… Iya, Pak Hakim… Silit saya sakit…. maksud saya berbelit-belit… Eh, silit kok berbelit-belit…

HAKIM: (Membentak lebih keras) Mohon Saudara Pesakitan menjaga ucapan! Dilarang ngomong jorok di persidangan!

SUSILA: (Makin kaget, makin latah) Eh jorok jorok keprok… Dalem, Pak Hakim… (bersin) Burung kok jorok… (bersin) Burung saya, eh, saya cuma pingin ngen…

HAKIM: (Memotong) Cuk… (dan langsung bersin, seakan ketularan Susila) Haicih……

SUSILA: Bukan ngencuk, Bapak Hakim tapi ngen…

HAKIM: (Kembali memotong) Cuk… Haicih… Cuk…kup, masud saya. Cukup!

SUSILA: (Latah) Eh iya cukup, cukup…Cukup ngencuknya, Bapak Hakim… Tapi saya tidak mau ngen…ngen…cuk, kok Bapak Hakim…Saya cuma mau ngen…ngen…tut…

Lalu terdengar kentut yang panjang. Semua menutup hidung. Susila terlihat sangat lega.Hakim sibuk membersihkan hidungnya yang mendadak bersin-bersin… Dan selama Jaksa dan Pembela berbicara beikut ini, Hakim terus sibuk membersihkan hidungnya dengan sapu tangan atau tissue.

JAKSA: Lihat sendiri, Bapak Hakim… Kita benar-benar menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika. Dia telah dengan sengaja mengganggu jalannya sidang…

PEMBELA: Klien saya hanya sedikit sakit perut, Bapak Hakim!

SUSILA: Saya tidak sakit perut kok… Cuma… (bersin) hacih… flu…

PEMBELA: Sama saja! Tidak penting sakit perut atau sakit flu, intinya adalah sakit. Klien saya sedang sakit! Maka sidang ini tidak bisa dilanjutkan!

SUSILA: Ee, tidak apa-apa kok, Nduk…

PEMBELA: (Langsung membentak cepat) Diam! (Lalu kepada Hakim) Klien saya mengatakan ia terkena flu… Dalam hal ini burungnya yang terkena flu…

Hakim menyodorkan tissue yang baru di pakainya kepada Jaksa, Jaksa menerima kemudian membuang tissue itu, sementara Pembela terus berbicara…

PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya terkena serangan dari dua arah sekaligus. Seorang lelaki dan burungnya yang terkena flu, hampir sama artinya dengan seorang ibu dan bayi yang disusuinya terkena flu.

Hakim kembali menyodorkan tissue yang dipakainya kepada Jaksa, tapi kali ini Jaksa tidak membuangnya, namun tissue itu malah dipakainya buat membersihkan hidunynya sendiri, kemudian tissue itu dikembalikan laki kepada Hakim yang segera memakainya lagi buat membersihkan hidungnya yang gatal, sementara Pembela terus berbicara,

PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya tidak dalam keadaan sehat untuk mengikuti persidangan! Maksud saya mungkin burungnya yang telah membuatnya terkena flu. Kita tahu flu cepat menular, dan sudah pasti klien saya sedang terkena flu karena itu tidak mungkin meneruskan persidangan ini.

JAKSA: (Bertepuk tangan, bergaya memuji) Sungguh argumentasi hukum yang benar-benar luar biasa…bodoh!

Kemudian mulai di sini, dialog ini dibawakan dengan gaya dinyanyikan, mungkin bergaya parikan seperti dalam ludrukan, mungkin dengan campuran irama blues atau ndangdutan…

JAKSA: Saya harap, Sodara Pembela tidak mengaburkan persoalan. Terlalu sering alasan sakit digunakan untuk menghindari persidangan. Bagaimana pun sidang harus dilanjutkan, demi keadilan…

PEMBELA: (Dinyanyikan) Tidak bisa! Justru demi keadilan sidang harus dihentikan…

JAKSA: (Dinyanyikan) Keadilan tak bisa dihentikan. Keadilan harus tetap ditegakkan. Karena itu tuntutan harus tetap dibacakan…

Musik terus mengalun. Hakim mengetuk palu, sambil sibuk dengan hidungnya yang gatal.

HAKIM: Baiklah. Sidang tetap diteruskan. Lanjut, Mang…!

Musik terus mengalun.

JAKSA: (Dinyanyikan) Terimakasih, Bapak Hakim… (Sambil bergaya membacakan dakwaaan, terus dinyanyikan) Sodara Pesakitan telah terbukti melanggar Undang-undang Susila. Ia melakukan perbuatan pornoaksi. Mempertontonkan susunya di muka umum…

SUSILA: (Menyanyi, menimpali, sambil memegangi meremas-remas susunya) Oo, susuku yang malang…

JAKSA: (Dinyanyikan) Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang Susila. Dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual…atau yang dianggap sensual. Seperti alat kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…

SUSILA: (Menimpali, dengan nyanyian) Pundak lutut kaki lutut kaki, daun telinga mata hidung dan pipi…

JAKSA: (Dinyanyian) Karna itu pesakitan mesti dihukum seberat-beratnya. Karena dia telah mengganggu keamanan dan stabilitas moral bangsa…

PEMBELA: (Memotong, berteriak tinggi, bicara biasa) Keberatan, Bapak Hakim!

Musik dan nyanyian berhenti. Kembali dialog biasa. Sementara Pembela dan Jaksa berdebat, Susila terlihat mulai kepanasan, sumuk, dan mulai membuka kancing bajunya dan kipas-kipas dengan tangannya.

PEMBELA: Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa bagian tubuh tertentu yang sensual adalah antara lain payudara perempuan. Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu tuntutan Jaksa absurd dan tak berdasar.

JAKSA: Hukum tidak berjenis kelamin, Sodara Pembela! Prinsip hukum itu seperti slogan Keluarga Berencana: laki-laki atau perempuan sama saja! Karena itulah semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum… kecuali, tentu saja, Ketua Mahkamah Agung…

HAKIM: Harap Saudara Jaksa tidak keluar dari fakta-fakta persidangan…

PEMBELA: Persoalannya, Bapak Hakim… Saudara Jaksa memang tidak punya fakta-fakta yang mendukung semua dakwaannya.

JAKSA: Faktanya Pesakitan memang bersikap cabul dan amoral, karena mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri kelakuannya… Saya yakin dia seorang eksibisionis…

Hakim terlihat bergairah memandangi Susila yang kepanasan dan mulai membuka kancing-kancing bajunya… Hakim, menelan ludah memandangi payudara Susila.

SUSILA: (Yang makin kelihatan kesumukan) Lha wong sumuk, je…

JAKSA: Jangan menjawab kalau tidak ditanya! (Kemudian kepada Hakim) Bahkan Pesakitan ini telah melanggar Undang-undang Susila secara berlapis-lapis, karena memperjualbelikan barang-barang yang mengandung unsur pornografi….

PEMBELA: Sekali lagi saudara Jaksa menuduh tanpa bukti dan fakta!

JAKSA: (Berteriak kepada petugas) Ambil barang bukti itu!

Seorang Petugas segera membawa masuk barang dagangan Susila. Melihat itu Susila langsung bangkit, dan dengan riang menghambur ke arah dagangannya, seperti menyambut kekasih yang dirindukannya.

SUSILA: Daganganku… Oh, mainanku… Sayangku…

Semua langsung beringsut mundur menghindari Susila. Sementara Susila terus memeluk dan menciumi mainan-dagangan itu… Hakim segera mengatasi keadaan, memukulkan palu sidangnya.

HAKIM: Saudara Pesakitan harap kembali duduk!

SUSILA: Mainanku… Oh mainanku….

HAKIM: (Lebih keras) Duduk!!

SUSILA: (Kaget, latah) Eh kontol duduk… Welah kok kontol bisa duduk…

HAKIM: Du…duk!!!

SUSILA: Dalem, Pak Hakim…

Susila pun kembali duduk…

JAKSA: Sodara Pesakitan, benarkah barang-barang ini milik saudara?!

SUSILA: Dalem, Bu Jaksa… Iya… itu dagangan saya…

JAKSA: Jadi jelas, Pesakitan ini telah mengakui berdagang barang-barang porno ini!

SUSILA: Lho, itu mainan kok, Bu Jaksa… Mainan anak-anak…

JAKSA: Mainan anak-anak hanyalah kamuflase untuk menutupi unsur-unsur pornografi dalam barang-barang ini.

SUSILA: Apanya yang porno? Masak mainan gitu dibilang porno…. (Berdiri dan mendekati dagangannya) Coba, mana yang porno? Mana? Apa mata Bu Jaksa picek, gini dibilang porno? (Mengambil dua balon) Apa yang kayak ini porno, Bu Jaksa?

JAKSA: Itu barang cabul, Sodara Pesakitan! Coba Sodara taruh di dada Saudara…

Dengan bingung dan tak ngerti, Susila menempelkan dua balon itu ke dadanya – hingga mirip payudara…

JAKSA: Lihat saja sendiri fungsi pornografis barang itu, yang membuat orang akan berfikiran mesum karena mengingatkan pada payudara…

PEMBELA: Payudara tidaklah cabul. Sesuatu yang sensual dan indah tidak berarti cabul. Anak-anak yang masih polos bisa melihat keindahan payudara tanpa membuatnya jadi dosa. Kitalah, orang dewasa, yang membuat payudara menjadi cabul, baik dengan mengeksploitasinya habis-habisan, maupun dengan menutupinya habis-habisan…

SUSILA: (Menambahi) Plus selalu menghisapnya habis-habisan…Wong saya juga doyan kok…

JAKSA: Itu melanggar Undang-undang Susila!

SUSILA: Masa jualan balon melanggar susila? (Sambil masih menempelkan kedua balon itu di dadanya) Kalau balon kayak gini dianggap mirip payudara, lha ya payudaranya siapa? Payudaranya Dolly Parton saja nggak segede ini kok… Kalau gede kayak gini bukan payudara Bu Jaksa, tapi tumor… Aneh-aneh saja lho Bu Jaksa ini… Lalu gimana kalau balon ini saya letakkan di tempat lain? Apa ya masih porno? Misalnya begini…

Susila meletakkan dua balon itu di selangkangannya.

SUSILA: Gimana kalau begini… Apa begini ini kayak biji salaknya raksasa… Eh, maksud saya biji salak raksasa?! Lha kalau bijinya segede ini, lalu segede apa batangnya?… Batang pohonnya maksud saya… Apa ya begini porno? Kan tergantung pikiran orang yang melihat…

Susila mengambil mainan lainnya, balon yang panjang.

SUSILA: Apa ini juga porno?

Susila memperlihatkan pada yang hadir, tetapi selalu setiapkali Susila mendekat, mereka beringsut menjauhi Susila…

SUSILA: Mainan ini membuat anak-anak bisa berfantasi… Berkhayal… Tapi kan tergantung fantasinya. Tidak mesti yang saru-saru…. (Meletakkan balon panjang itu di atas kepalanya) dengan begini anak-anak berkhayal seperti rusa bertanduk… (Meletakkan balon itu di keningnya) Berkhayal jadi unicorn atau punya cula seperti badak… (Meletakkan balon itu di hidungnya) punya hidung mirip Pinokio… (Meletakkan balon itu di perutnya) Punya wudel bodong… (Meletakkan balon itu di selangkangannya) dan begini… punya ekor memanjang di bagian depan…

Susila bisa mengembangkan mengambil mainan-mainan yang lain, kemudian mengolahnya. Setiap kali Susila mendekat, selalu yang didekati beringsut mundur…

SUSILA: (Sampai akhirnya bertanya pada Pembela) Mainan kayak gini kan ya nggak porno toh, nduk? Bener kan nduk omongan saya?

PEMBELA: Maaf, Anda tak udah usah sok akrab pada saya!

SUSILA: Lho piye toh kowe, nduk…

PEMBELA: Saya membela Saudara hanya sebatas hubungan profesi! Dan itu bukan berarti saya setuju dengan moral saudara… (Langsung menghidar dengan berkata pada Hakim) Bapak Hakim, kita tak bisa mengatakan sesuatu porno hanya berdasarkan asumsi, seperti dikatakan Saudara Jaksa tadi.

JAKSA: Bagaimana mungkin Sodara Pembela mengatakan semua bukti ini hanya asumsi? Beruntung sekali kita berhasil menyita bukti-bukti ini! Bagaimana kalau barang-barang itu beredar luas? Anak-anak kita akan dijejali mainan-mainan porno! Mainan ini adalah cara untuk meracuni pikiran anak-anak kita, Sodara-sodara! Bagaimana nasib masa depan anak-anak kita, Sodara-sodara…bila sejak dini mereka telah dijejali dengan segala macam bentuk mainan pornografi, Sodara-sodara… Puji Tuhan! Ini tidak bisa kita biarkan, Sodara-sodara!

Bersamaan nada bicara Jaksa yang mulai meninggi, terdengar derap musik yang menggambarkan serombongan demonstran yang mendekat dan mulai menderap…

JAKSA: (memandang ke arah luar ruang sidang) Lihatlah sodara-sodara kita yang berbaris berbondong-bondong menghadiri sidang ini!

Musik makin meninggi, sementara sayup nyanyian mulai terdengar…

JAKSA: Anda lihat sendiri, Sodara Pembela… Semua rakyat berbaris dibelakang kita, agar kita bertindak tegas menghukum pesakitan ini… Mereka ingin penjahat moral ini dihukum seberat-beratnya… Hukum adalah suara rakyat… Suara rakyat adalah suara Tuhan…

Lalu terdengar teriakan dan yel-yel para demonstran yang makin mendekat…

JAKSA: Dengarlah suara mereka… Suara Tuhan yang akan mengazab para pendosa yang tak bermoral!

Kemudian teriakan-teriakan itu makin menjadi jelas, dan muncul serombongan demontran yang membawa poster yang ternyata berisi tunttutan agar Susila dibebaskan. Jaksa langsung bingung melihat situasi yang tak diduganya. Ia meyangka yang datang adalah demonstran yang mendukung Undang-Undang Susila. Ternyata mereka adalah gerombolan yang penentang Undang-undang Susila yang menuntut pembebasan Susila Parna. Para demosntran itu bernyanyi:

Jangan diam jangan mau dibungkam

Kita bergerak untuk perjuangan

Keragaman jangan dimatikan

Proyek moral haruslah dilawan

Yang menindas suara kebenaran…

Bebaskan Susila… Bebaskan Pikiran

Bebaskah Susila… Bebaskan kehidupan

Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…

Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…

Begitu seterusnya diulang-ulang “bebaskan Susila… bebaskan Susila…”. Kepanikan juga melanda Hakim. Pembela tampak bingung. Jaksa gemetar menahan amarah. Semua menatap barisan demosntran yang menderap keluar, exit.

Saat itulah muncul Petugas Kepala, panik dan gugup,

PETUGAS KEPALA: Maaf, Bapak Hakim… Ini benar-benar diluar perhitungan kita… Mereka menuntut pembebasan Pesakitan kita…

Teriakan dan nyanyian demonstran it uterus terdengar. Petugas Kepala dengan cepat segera mengamankan Hakim dan Jaksa. Beberapa Petugas langsung menggiring Susila di bawah ancaman senapan. Musik makin meninggi. Panggung menggelap. Terdengar teriakan-teriakan itu: “Bebaskan Susila!… Hidup Susila!….”

DELAPAN

Setelah musik mereda dan teriakan-teriakan mengendap, pada satu sisi panggung cahaya mulai menerang: terlihat Susila yang terkurung di balik selnya, sementara dua petugas tampak asik bermain catur.

SUSILA: (Pelan memangil petugas-petugas itu) Mas… Mas…

Dua petugas itu abai, terus asyik main catur…

PETUGAS 2: (Memainkan bidak) Ster!

SUSILA: Mas… (memukul-mukul jeruji)… Mas…

PETUGAS 1: Bisa diam tidak!

SUSILA: Saya mau minta tolong…

PETUGAS 2: Sudah, nggak usah didengerin… Ayo jalan…

Petugas 1 terlihat sibuk berfikir keras memandangi papar caturnya.

SUSILA: Mas… Mbok saya minta tulung…

PETUGAS 2: Minta tolong apa?

SUSILA: Belikan mainan… Saya kangen sama mainan saya…

PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya) Aneh banget kan permintaannya… Ini permintaan paling aneh selama saya jadi penjaga penjara. Biasanya tahanan itu minta dicarikan narkoba… Kamu kok malah minta mainan!

SUSILA: Ayo toh mas, beliin saya mainan…

PETUGAS 1: Sudah, sudah.! Aku jadi nggak bisa konsen!

SUSILA: Please deh, Mas… Cariin saya mainan.

PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya, yang terlihat berfikir memandangi papan catur) Ayo cepet jalan… Apa nyerah? Kamu itu tidak mungkin menang…

Petugas 2 bergaya dan bersikap meremehkan, mengambil uang taruhan yang tergeletak di samping papan catur, kemudian Petugas 2 mengipas-gipaskan uang itu ke muka Petugas 1 yang masih terus serius mengamati papan catur, bingung memikirkan langkahnya. Susila dari dalam selnya ikut memerhatikan papan catur itu.

SUSILA: Begitu saja kok pusing…

PETUGAS: Sudah jangan cerewet!

SUSILA: Kudamu maju saja depan benteng.

Petugas 1 menatap Susila marah, tapi kemudian melihat lagi papan caturnya, dan melihat bahwa omongan Susila itu benar. Dia senang dan segera melangkahkan kudanya seperti yang dibilangin Susila.

Petugas 2 kaget, tapi segera memakan kuda itu.

SUSILA: Nah sekarang bentengmu langsung maju… Dua langkah pasti langsung mat!

Petugas 1 kelihatan di atas angin. Petugas 2 kelihatan jengkel. Setelah dua kali langkah, Petugas 2 benar-benar terkejut.

PETUGAS 1: Skak!

PETUGAS 2: (Menatap Susila marah) Oo… bajigur!

PETUGAS 1: (Bernyanyi-nyanyi gembira karena menang) Sekak mati… Sekak mati…

Petugas 1 langsung meraih lembaran uang taruhan yang tadi dipegangi Petugas 2. Petugas 2 begitu marah pada Susila dan hendak memukul. Susila beringsut mundur menjauhi jeruji…

PETUGAS 1: Ayo, main lagi tidak?

Petugas 2 dengang jengkel segera pergi, exit. Petugas 1 memandang kepergian Petugas 2, meyakinkan kalau rekannya itu memang benar-benar sudah pergi, lalu dengan hati-hati mendekati Susila…

PETUGAS 1: Kamu pinter main catur ya…

SUSILA: Keciiil…..

Petugas 1 melongok-longok keadaan.

PETUGAS 1: Ajarin saya, ya…

Lalu Petugas 1 mendekatkan kursi panjang ke dekat sel.

SUSILA: Nanti kamu ketularan…

PETUGAS 1: Jangan gitu ah… Saya tahu sampeyan tidak berbahaya kok… Gimana, mau ya ngajari saya?

Lalu keduanya mulai menata bidak-bidak catur itu, dengan Susila tetap berada dalam sel. Hanya tangan Susila yang keluar dari sela jeruji ketika memainkan bidak-bidak catur… Selama percakapan berikut, keduanya terus bermain catur.

PETUGAS 1: Sebenarnya saya juga pernah beli mainan sama sampeyan lho… Waktu itu anak saya nangis terus… minta dibeliin mainan… Padahal uang saya kurang… Untung sampeyan mau ngutangi dulu…Ingat tidak?

SUSILA: Saya itu terlalu banyak diutangi orang, Mas… Sampe saya susah ngingat siapa saja yang utang sama saya… Apalagi tampang kayak sampeyan ini memang khas dan spesifik seperti tampang dunia ketiga yang suka ngutang…

PETUGAS 1: Ya sudah, ini saya bayar.

Petugas 1 mengeluarkan uang yang tadi didapatnya karena menang main catur, dan menyodorkannya pada Susila.

SUSILA: Ndak usah…. Ndak usah…

Petugas 1 kembali hendak mengantongkan uang itu.

SUSILA: Eeh…, nanti kamu beliin saya mainan saja ya…

Kemudian keduanya kembali main catur.

Di sisi panggung yang lain, muncul Hakim dan Petugas Kepala, keduanya berjalan beriringan. Adegan antara Hakim dan Petugas Kepala ini, paralel dengan adegan Susila dan Petugas 1 yang sedang main catur.

HAKIM: Kita tak bisa membiarkan kekacauan ini berkembang!

PETUGAS KEPALA: Saya akan segera membereskan semuanya, Bapak Hakim. Jangan khawatir…

HAKIM: (Mengeluarkan poster bergambar wajah Susila yang memakai baret mirip Che Gouvara) Lihat poster ini! Dia rupanya telah jadi idola kaum pembangkang. Saya melihat poster ini ditempel memenuhi dinding kota!

PETUGAS KEPALA: Intelejen kita sudah mengetahui siapa dibelakang ini semua. Ada dua kekuatan ekstrem yang harus kita curigari, Bapak Hakim. Pertama kelompok yang menyebut dirinya GAM… Gerakan Anti Moral…Dan yang kedua adalah gerakan sparatis OPM… Organisasi Penggemar Maksiat… Mereka telah menjadikan Susila sebagai ikon perlawananan mereka. Merekalah yang menggalang perlawanan menentang diberlakukannya Undang-undang Susila.

Susila bicara kepada Petugas 1 sambil terus main catur.

PETUGAS 1: Kenapa sih sampeyan tidak menyerah saja.

SUSILA: Mau menang begini kok menyerah…

PETUGAS 1: Bukan menyerah main catur… Tapi menyerah mengakui kesalahan sampeyan…

Hakim kepada Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan…

HAKIM: Kamu harus membuatnya menyerah. Lakukan segala cara, yang penting dia mau mengaku salah!

Sambil terus main catur, Susila kepada petugas itu,

SUSILA: Kalau saya salah, nggak usah dipaksa juga saya akan ngaku salah. Lha, tapi ini saya nggak merasa salah apa-apa kok…

Hakim dan Petugas kepala, sambil berjalan beriringan,

PETUGAS KEPALA: Saya telah mengatur seorang petugas untuk membujuknya.

Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,

PETUGAS 1: Kalau sampeyan mengaku salah, kan sampeyan bisa diampuni.

SUSILA: Diampuni gimana? Lha sidangnya saja belum rampung, kok diampuni… Orang itu harus disidang dulu, dibuktikan kesalahannya. Baru diampuni…

Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan,

PETUGAS KEPALA: Apakah kita benar-benar akan mengampuni pesakitan ini?

HAKIM: Tentu saja tidak. Kita hanya bujuk dia dengan menjajikan ampunan, biar mau mengaku salah. Kalau dia sudah mengaku salah, berarti dia secara sah telah bersalah. Itu kesempatan kita menggoroknya…

Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,

PETUGAS 1: Posisi kamu ini sekarang lagi susah. Kamu bersalah atau tidak bersalah, bukan ditentukan apakah kamu memang benar-benar bersalah atau benar-benar tidak bersalah… (Memainkan caturnya) Skak! Kamu salah atau tidak salah, tetap akan diputuskan salah…

Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan beriringan…

PETUGAS KEPALA: Yang penting saya memperoleh dukungan penuh kalau mesti mengambil tindakan-tindakan darurat.

HAKIM: Proyek moralitas dibenarkan sepanjang itu menguntungkan… Apapun yang kamu lakukan untuk kepentingan proyek Syariat Moral ini, kamu pasti memperoleh dukungan.

Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain catur,

PETUGAS 1: Atau jangan-jangan kamu merasa untung di penjara begini? Kamu senang karena sekarang banyak yang memuja kamu… Kamu diam-diam menikmati kan?

SUSILA: Gundulmu! Ditahan begini kok menikmati…

PETUGAS 1: Justru karena ditahan begini, kamu jadi dianggap pahlawan oleh banyak orang. Kamu dijadikan poster. Namamu diteriakkan para demosntran… Lalu kamu merasa ngetop? Kamu rupanya telah mengindap sindrom orang yang merasa dirinya pahlawan. Kamu memperoleh kepuasan ketika orang di sekelilingmu begitu memujamu…

SUSILA: Prek!

PETUGAS 1: Apa kamu nggak sadar, orang-orang itu sebenarnya tidak memujamu, tapi memanfaatkanmu… Kamu hanya dijadikan tumbal perlawanan…

Hakim kepada Petugas Kepala,

HAKIM: (Menyerahkan selembar cek) Ini cek untuk kebutuhan dana taktis…Ini bukan berarti saya memanfaatkan aparat macam kamu lho, ya…

PETUGAS KEPALA: Tak usah sungkan-sungkan… Saya tak merasa diperalat kok… Karena aparat seperti saya ini memang sudah terbiasa ikhlas diperalat…Kalau lama tak diperalat, ayan saya malah kumat… Saya kira ini juga akan menstimulus militansi anak buah saya…Bapak Hakim tahu, belakangan ini anak buah saya lebih suka menangkapi para pelanggar susila, ketimbang menangkapi pelanggar lalu lintas…Karena inkam-nya jauh lebih menguntungkan.

Sementara Susila yang terlihat marah ngambek, kepada Petugas 1,

SUSILA: Kamu kira saya merasa untung dengan ditahan begini?!

PETUGAS 1: Maaf… Saya ngomong seperti tadi karena saya tidak ingin kamu celaka…Saya tahu sampeyan tidak melanggar… Sampeyan hanya korban. Sengaja dikorbankan… Nama sampeyan dijelek-jelekkan…. Dianggap bahaya laten… Kalau ada yang tahu saya ngobrol sama sampeyan begini, pasti saya langsung dipecat. Keluarga saya pasti dihabisi…. Dianggap tidak bersih susila.

SUSILA: Lalu kenapa kamu menuduh saya justru menikmati semua itu?!

PETUGAS 1: Saya khawatir saja kok… Khawatir karena saya denger malam ini sampenyan mau dieksekusi…

Susila jadi terlihat gelisah, raut wajahnya seperti dipenuhi bayangan kematian…

Hakim kepada Petugas Kepala,

HAKIM: Saya hanya khawatir kalau petugas itu justru tergoda…

PETUGAS KEPALA: Saya berani menjamin loyalitas para anak buah saya, Bapak Hakim…

Petugas 1 berbicara kepada Susila,

PETUGAS 1: Makanya, cepat pergi… Pergi… Kamu lihat, pintu sel sengaja tak saya kunci… Kamu bisa pergi sebelum tengah malam nanti…

Sementara itu Hakim dan Petugas Kepala berhenti, dan langsung memandang ke arah Petugas 1 yang sedang membujuk Susila… Petugas 1 tak menyadari kemunculan Hakim dan Petugas kepala…

PETUGAS 1: Pergilah… pergilah… Saya nggak ingin melihat kamu dihukum mati.

Hakim dan Petugas Kepala yang sudah berdiri di belakang Petugas 1 itu langsung menghardik,

HAKIM: (Menghardik) Kamu yang pantas dihukum mati!!

Petugas 1 begitu kaget, ia berbalik dan melihat Petugas Kepala dan Hakim yang sudah berdiri menatapnya. Langsung Petugas 1 mengemasi bidak-bidak catur, memdekap papan catur itu dengan gemetar…

HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Sekarang saya tahu loyalitas anak buah kamu! Saya kira kamu cukup cerdas untuk membuktikan loyalitasmu!

Hakim menatap tajam Petugas Kepala, kemudian langsung bergegas pergi, exit. Tinggal Petugas Kepala menatap penuh amarah pada Petugas 1, membuat petugas satu menggil ketakutan, lalu berlahan-lahan duduk bersimpuh sembari mendekap papan catur,

PETUGAS 1: Ampun…..

Lalu perlahan Petugas 1 itu merangkak, mendekati Petugas Kepala yang terus berdiri mematung penuh kemarahan.

PETUGAS 1: (Sambil terus merangkak) Ampun….. Maafkan saya, Pak….. Ampun… Ampun…

Susila memandangi semua itu dari dalam selnya. Ia juga terlihat ketakutan, bingung. Sampai kemudian Petugas 1 itu bersimpuh di bawah kaki Petugas Kepala, memegangi kakinya, terus memohon ampun. Suara tangis dan ampunan Petugas itu kemudian seperti tercekat dikerongkongannya, ketika dengan tenang Petugas Kepala mengeluarkan pistolnya. Petugas kepala itu mengarahkan pistolnya tepat di kepala Petugas 1. Susila ngeri menyaksikan itu, dan menutup wajahnya. Lalu terdengar letusan senjata. Gelap seketika.

Musik transisi…

SEMBILAN

Pembela berjalan tergegas terburu-buru, melintas panggung. Tapi mendadak muncul Jaksa, seperti menghadang. Melihat itu Pembela langsung berbalik, berusaha menghindar, dan segera kembali bergegas. Tapi mendadak muncul Hakim, menghadang jalan di depannya,

HAKIM: Kenapa terburu-buru…

PEMBELA: Maaf, saya mesti bertemu wartawan… (bergaya sibuk dengan berkas-berkas yang dibawanya)… Saya mesti meluruskan beberapa pemberitaan yang cukup mengganggu…

Lalu Pembela segera berbalik, mencoba menghidari hadangan Hakim,

JAKSA: (Dengan santun menghadang Pembela) Sudah lama kita tak makan siang bersama…

PEMBELA: (Dengan santun dan halus) Mungkin lain waktu.

JAKSA: Bukankah dulu kamu selalu mengatakan ngobrol makan siang selalu lebih menyenangkan dari pada di ruang siding.

PEMBELA: Tapi ini bukan saat yang menyenangkan untuk itu…

Pembela menghindari Jaksa, berbalik bergerak menjauh, tetapi kembali di hadang Hakim,

HAKIM: (Bernada membentak mengancam) Menyenangkan atau tidak. Kamu punya waktu atau tidak… Yang jelas kita mesti bicara! Saya tak terbiasa basa-basi!

PEMBELA: Ciri hakim yang baik memang tak suka basa-basi… terutama kalau minta sogokan…

HAKIM: (Bernada marah, kepada Jaksa) Lihatlah caranya bicara! Gayanya persis pejuang yang minta perhatian.

JAKSA: (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara… (Kepada Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas!

PEMBELA: Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena itulah saya berkewajiban meluruskan berita soal itu!

HAKIM: (Menyodorkan map) Laporan kronologi peristiwanya ada di sini! Semua tertulis detail terperinci… Pesakitan itu menyerang petugas itu dengan membabi buta, membunuhnya… kemudian memperkosa mayatnya…

PEMBELA: (Sambil mengamati membaca kertas-kertas dalam map itu) Saya rasa, laporan ini hanya merupakan fantasi orang yang menuliskannya.

HAKIM: Satu petugas terbunuh! Itu bukan fanasi, anak muda! Bayangkan kalau pesakitan itu bisa meloloskan diri. Dan dia memang selalu berusaha melarikan diri dari selnya. Bayangkan orang seperti itu berkeliaran di jalan-jalan. Ia pasti akan menyergap anak-anak kecil yang masih manis. Mencekik mereka, kemudian memperkosanya. Seorang maniak seks seperti dia tak akan puas hanya memperkosa satu dua kali… Bayangkan: berapa anak-anak yatim dan janda-janda – yanag seharusnya dipelihara oleh negara – akan diperkosa oleh pesakitan itu!

JAKSA: Saya hanya minta kerjasamamu seperti biasanya. Saya tahu, kasus ini peluang bagi kariermu sebagai pembela. Inilah kesempatanmu masuh dalam deretan sejarah orang-orang yang dengan gigih memperjuangkan keadilan. Tapi buat apa? Buat apa keadilan kalau itu hanya akan menghasilkan ketakutan dan kengerian bagi yang lain…

HAKIM: (Bernada penuh ancaman) Dan bukan tidak mungkin kengerian itu akan menimpamu sendiri, anak muda!

PEMBELA: Itu nasehat ataukah ancaman?!

Jaksa dengan halus mencoba melerai dan menuntun Pembela menjauhi Hakim. Sementara pada saat bersamaan Jaksa itu juga memberi isyarat kempada Hakim akan bisa menahan diri (seakan-akan mengatakan, biarlah ia yang bicara dengan Pembela). Dari sinilah akan makin terasa betapa ada hubungan khusus antara Jaksa dan Pembela.

JAKSA: Kamu jangan salah faham. Kami sama sekali tak mengancammu. Lagi pula, siapakah sesungguhnya yang mengancam? Dan siapa yang paling merasa terancam? Sumber ancaman jelas, ditebarkan oleh pesakitan itu. Ia tidak sendirian. Ingatlah orang-orang yang kini telah memujanya, yang menganggapnya pahlawan perlawanan. Mesiah yang akan membebaskan! Yang kita hadapi adalah keyakinan! Pemujaan! Sekte! Aliran sesat yang memuja kebebasan! Karena itulah, yang kita hadapi bukan cuma seorang pesakitan. Kita sedang berhadap-hadapan dengan sebuah gagasan yang memuja kebebasan. Gagasan yang mengatasnamakan keberagaman! Bayangkan bila gagasan ini meracuni seluruh rakyat kita?! Seluruh persendian moal yang telah kita bangun akan runtuh! Karna itu yang sedang kia perjuangkan bukan semata Undang-undang. Kita memperjuangkan keyakian. Prinsip moral. Bahwa bangsa ini harus memiliki sistem moral yang kuat…

PEMBELA: Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk memonopoli kebenaran!

JAKSA: Sssstt… Jangan membantah dulu. Kamu masih muda… (Membelai Pembela dengan mesra)… Masa depanmu masih ranum. Dan kami bisa memilihkan masa depan yang akan menyenangkan buat kariermu. Saya bangga kamu jadi pembela moral yang gigih… Tapi ingatlah, kita ini hanya sekadar menjalankan peran… Sistem ini hanya berjalan kalau kita bisa menjalankan peran kita masing-masing dengan baik dan penuh saling pengertian…

Pembela tampak gelisah dengan sikap mesra Jaksa kepadanya.

PEMBELA: Karna itulah saya mencoba menjalankan peran konstitusional saya dengan sebaik-baiknya…

JAKSA: Jalanilah dengan baik…, tapi jangan naif… Apa kamu kira kamu bisa serta-merta jadi pembala dalam kasus ini, bila kami tak menginginkannya? Kami yang memilihmu jadi pembela… Aku sendriri yang merekomendasikan agar kamu diberi kesempatan untuk ikut mengambil bagian dalam peran ini… (Bersikap sangat mesra) Karna aku tahu kamu… kemampuanmu… impianmu… Tapi jangan kecewakan aku…

PEMBELA: Saya harus membelanya…

HAKIM: (Tegas penuh sindiran) Memang sudah menjadi kewajiban, seorang keponakan membela pamannya!

Pembela langsung gugup dan kaget.

HAKIM: Apa kamu pikir kami tak tahu kekerabatanmu dengan pesakitan ini. Saya punya informasi lengkap tenang kamu. (Melihat-lihat catatan dalam map, dan membacanya) Nama: Utami… Lulus fakultas Hukum lima tahun lalu… Suma cum laude … Jadi aktivis pers mahasiswa… Hobi menulis sastra… Pernah menerbitkan novel yang dituduh penuh adegan porno…

PEMBELA: Saya menulis sastra, bukan novel porno!

HAKIM: Terserah… saya tak perduli apakah sastra atau porno! Yang jelas itu sasstra jenis SMS… Sastra Mazhab selangkangan! Saya bisa menangkap kamu karna menulis novel itu!… (Kembali membaca data di map) … Pernah kost di Utan Kayu… Berkencan… dan punya hubungan sejenis dengan…

JAKSA: (Gugup cepat memotong) Bukankah soal yang itu kita sudah sepakat akan mengabaikannya!

HAKIM: Oh ya, ya… (Mencoret kertas di map)…

JAKSA: Terimakasih…

HAKIM: Tapi fakta bahwa ia punya hubungan darah dengan pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya, kamu tidak bersih lingkungan… Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut bersama Ulil ikut dalam Jaringan Moralis Liberal…

Pembela terpojok dan tak berdaya, ia menatap Jaksa, seakan-akan minta perlindungan…

JAKSA: Kamu masih punya kesempatan…

Jaksa bersikap mesra pada Pembela, dan Pembela seperti tak berdaya menolak pelukan mesra itu.

JAKSA: Saya yakin kamu cukup bijak menentunkan… Kamu punya kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih cerah… Bayangkan… Kamu tak hanya jadi pembela, tapi punya posisi yang strategis… Mungkin kamu bisa dipromosikan menjabat ketua Komite Indipenden Pemantau Moral.

PEMBELA: Terimakasih…

JAKSA: Atau bahkan kamu bisa menjadi ketua MA…

PEMBELA: (Gembira) Mahkamah Agung?

JAKSA: Bukan… Mahkamah A-moral.

Jaksa makin menatap penuh kasih sayang…

JAKSA: Sekarang pergilah…

Pembela pergi… Jaksa memandanginya kepergian Pembela dengan tatapan penuh mesra… Sampai terkejut ketika Hakim bersuara

HAKIM: Kamu menatapnya seperti menatap kenangan…

JAKSA: Setiap kita punya kenangan, Bapak Hakim… Kenangan yang ingin kita simpan … Kenangan yang jadi rahasia… Bukankah setiap orang juga punya rahasia, Bapak Hakim?!

Hakim tersenyum penuh pengertian. Jaksa mengulurkan tangan, semacam isyarat penuh godaan. Lalu Hakim mendekati Jaksa, meraih tangannya, mencium telapak tangan Jaksa dengan lembut. Kemudian Hakim membimbing Jaksa dengan mesra.

Keduanya berjalan ke satu sudut, dimana kemudian keduanya menjadi bayangan. Mereka berpelekan. Bergairah dan bercumbu liar. Hakim tampak mengikat kedua tangan Jaksa terentang. Kemudian dengan penh gairah mencambuki tubuh Jaksa dengan penuh berahi.

Sayu-sayup terdengar suara orang menembang, penuh kepedihan…

SEPULUH

Tembang itu terus mengalun…

Susila, dalam selnya, tergeragap mendengar suara tembang itu. Ia sperti terkenang akan tembang itu. Tembang itu bagai mengingatkannya pada hari-harinya yang tenang. Dalam keremangan, terlihat sesesok perempuan yang sedang menembang itu.

SUSILA: Siapa itu?

Sesosok perempuan itu beringsut mendekat dalam kegelapan…

SUSILA: Siapa?

MIRA: Aku… Mira…

SUSILA: Mira? Mira siapa? Mirasantika? Mira Diarsi? Mira Lesmana? Atau Miranda Goeltom?

Tembang berhenti. Sunyi sejenak.

SUSILA: Siapa?

Tak ada jawaban. Sunyi membuat Susila gelisah. Tiba-tiba terdengar seperti suara pintu dibanting, keras.

SUSILA: (Kaget, latah) Eh, kontol copot…copot..copot… (memandang mencari-cari sesuatu di lantai) Mana…mana… (Lalu melihat dalam sarungnya, kemudian tersenyum) Eh, masih…

MIRA: Kamu masih di situ?

SUSILA: Eh iya, masih…(sambil terus memandangi ke dalam sarungnya)… masih utuh…

Lalu perlahan-lahan muncul Mira, bagai keluar dari dalam lobang persembunyian… Susila terkejut dan segera mengenalinya,

SUSILA: Kamu… Kamu penari tayub itu, kan? Kamu kok bisa kemari? Apa penjaga-penjaga itu…

MIRA: Nggak usah khawatir… Aku sudah memuaskan penjaga-penjaga itu dengan goyangan… Kawan-kawan menyuruhku menemuimu… Karna kami harus yakin bahwa kamu tetap setia pada perjuangan kita.

Susila tampak kebingungan,

SUSILA: Perjuangan?

MIRA: Beberapa kawan mulai curiga kamu akan menyerah… Mereka takut kamu akan membocorkan rahasia kita!

SUSILA: Rahasia apa? Wahh, saya nggak mudeng…

MIRA: Berhentilah main-main, Susila! Atau kamu tak mempercayaiku?! Sengar, Susila.. aku kemari karena ingin menyelamatkanmu! Saat melihatmu tayuban dulu, aku sudah merasa, kamu memang pejuang sejati…

SUSILA: Kamu itu ngomong apa?

MIRA: Aku yang harusnya bertanya, kamu sudah ngomong apa saja pada petugas-petugas itu? Apa kamu cerita kalau rombongan tayub kami sesungguhnya para gerilyawan moral yang sedang menyusup ke kota? Jawab, Susila!

SUSILA: Eh, jawab jawab… Jawab apa?

MIRA: Berapa nama yang sudah kamu sebut?

SUSILA: Nama apa? Saya nggak ngerti…

MIRA: Jadi benar?

SUSILA: Apanya yang benar?!

MIRA: Kamu sudah membocorkan rahasia perjuangan kita….

SUSILA: Perjuangan apa? Kita siapa? Aku nggak mudeng…

MIRA: Kamu kok aneh begitu? Kamu memang sudah berubah… Kamu pasti lelah. Tapi aku yakin kamu mampu bertahan. Meski banyak kawan-kawan seperjuangan meragukan keteguhanmu. Makanya mereka mengirimku ke mari… Mereka ingin aku membunuhmu… Karena mereka tahu aku diam-diam menyintai kamu… Sejak pertama melihatmu di tayuban dulu, aku memang sudah jatuh cinta sama kamu… Ah, cinta pada pandangan pertama… Sejak kamu ditahan, aku selalu mencemaskanmu, Sus… Dan kawan-kawan seperjuangan bisa merasa perasaan cintaku padamu bisa menjadi awal petaka…Mereka lalu menuntut keteguhanku: memilihmu atau memilih perjuangan… Tapi saya tak mau membunuhmu, Susila…

Tolong saya… Sekarang kamu lari… (menyerahkan kunci) Ini kuncinya… Larilah… kamu bisa menghilang ke mana saja…

Susila menatap kunci yang disodorkan Mira, tapi tak menerimanya, malah ketakutan,

SUSILA: Tidak… Tidak… kalau kabur pasti saya diburu…

MIRA: Ini demi keselamatanmu, Susila… Atau kamu memang sudah betah di penjara ini?… Begitu? Aku mendengar desas-desus kalau kamu memang diperlakukan baik di sini. Kami justru merasa nyaman dalam penjara. Penjara membuatmu merasa makmur!

SUSILA: Oo uedan tenan! Di penjara kok makmur!

MIRA: Kalau kamu nggak senang, larilah… Semakin lama kamu dipenjara, kawan-kawan malah semangkin cemas. Kamu akan tergoda. Lalu kamu membocorkan rahasia kita. Saya ingin kamu selamat. Tapi aku juga ingin semua kawan-kawan seperjuangan kita selamat….

SUSILA: Mbuh, mbuh… Saya nggak mudeng. Nggak mudeng!

MIRA: Ingat, Sus… Orang-orang di luar begitu berharap padamu. Kamulah satu-satunya harapan kita. Diam-diam banyak rakyat yang memujamu. Kalau kamu sampai menyerah, habislah seluruh perjuangan kita… Sampai saat ini aku terus bergerilya menyamar jadi penari tayub.. Kamu pikir, apa yang membuat saya tahan melakukan semua itu? Kamu, Sus… Kamu… Kamu-lah yang membuat aku yakin bahwa apa yang kini aku jalani dan yakini tidak akan sia-sia…

Susila terbengong-bengon, bingung dan hanya terdiam di dalam sel. Mira berusaha mengulurkan tangannya menyentuh Susila, mengelus-elus Susila dengan ujung jari-jarinya,

MIRA: Ayo, Sus… Kamu harus keluar dari sini…

Susila tiba-tiba langsung beringsut menjauh, dan nampak malu,

SUSILA: Lha ini… baru disentuh kamu saja sudah keluar…

MIRA: Ayolah, Sus… Larilah… Aku tak ingin kamu mati konyol…

SUSILA: Kamu yakin kalau saya lari saya tak akan mati? Di penjara ini saya bisa mati… Kabur pun saya pasti mati… Saya nggak ngerti… Jaman apakah ini… Jaman harta? Jaman susila? ….Dulu zaman Suharto, zaman nyari harta. Sekarang kan zaman Susila. Zaman menegakkan susila. Su-sila…, dasar yang baik. Setelah dapat harta, lantas nyari susila…. Tapi saya? Sudah nggak dapat harta, eh malah kesandung susila… Apalagi yang bisa saya percaya?

MIRA: Percayalah sama saya… Kamu hanya lelah…

Terdengar suara kemerontang, seperti ada yang dating. Mira segera bangkit, melihat keadaan. Lalu buru-buru menyodorkan lagi kunci ke arah Susila.

MIRA: Ini kuncinya… Kunci hidup matimu!!!

Susila hanya memandang, bergeming. Suara seperti pinu sel di dorong kembali terdengar. Mira buru-buru melempar kunci tu ke dalam sel Susila, hingga jatuh tak jauh dari kaki Susila yang terus bergeming.

Kemudian Mira segera menyelinap pergi…

Susila tanpak bingung. Ia memandangi kunci itu. Ia bergerak hendak memungutnya. Tetapi kemudian tak jadi. Ia terlihat begitu bingung. Ragu memandangi kunci itu…Sampai kemudian ia tiba-tiba begegas mengambil kunci itu. Tangannya gemetar membuka selnya.

Susila kabur…

Terdengar sirene meraung-raung!

SEBELAS

Operasi Moral besar-besaran digelar untuk memburu Susila. Sepasukan Polisi Moral terlehat menyebar. Mereka bergerak, seperti sepasukan tentara elit memakai seragam hitam-hitam dengan jaket rompi anti peluru. Di punggung mereka terlihat tulisan DESTASEMEN MORAL. Sebagian memakai topeng penutup, topi baja dengan lampu sorot di bagian depannya. Senjata mereka terarah siap menembak, dengan sinar infra merah terus berkelebatan dalam gelap.

Musik Mission Imposible mengiringi gerakan para Polisi Moral yang terus menyebar hingga ke penonton. Mereka menggeledah setiap penonton. Mengarahkan lampu sorot, membidikkan senapan berinfra merah itu tepat ke dada atau kening penonton…

Di ataa panggung, dalam ketinggian komando, terlihat Petugas Kepala berdiri menjulang memberi perintah dengan megaphone…

PETUGAS KEPALA: Perhatian! Perhatian!…. Ini darurat Moral! Atas nama Undang-undang Susila saya perintahkan semua menyerah… Tembak ditempat semua yang mencurigakan!

Sementara para pasukan menyebar mendatangi para penonton, menggeledah para penonton…

PETUGAS KEPALA: Ini jam malam moral. Jangan sampai kelamin Anda berkeliaran malam-malam…

Dari satu arah seorang Pasukan berteriak, sambil mengarahkan senapannya ke sebuah sudut..

PETUGAS: Pak! Ada kelamin sembunyi di selokan…

PETUGAS KEPALA: Tembak!

Petugas itu segera memberondongkan senapan. Serentetan tembakan menggelegar…

PETUGAS KEPALA: (Dengan megaphonenya) Sekali lagi, bagi saudara-saudara yang tidak bisa menjaga kelaminnya, harap segera menyerahkan kelaminnya ke pos-pos kemanan terdekat!

Para petugas it uterus memeriksa para penonton, menggeledah. Para petugas tersebut bisa improve melaporkan apa yang ditemukan (seorang petugas misalnya berteriak ke arah Petugas Kepala kalau ia menemukan kondom nyangku di atas pohon, menemukan dua pil Viagra, dst…)

PETUGAS: Terus geledah setiap rumah! Cari buronan itu! Cari sampai ketemu. Bahkan bila ia kembali sembunyi di rahim ibunya!

Para pasukan bergerak sigap dan cepat. Sirene pencarian terus meraung-raung menggetarkan udara.

DUA BELAS

Sirene masih sayup terdengar menjauh dan derap pasukan yang melakukan operasi masih terdengar menyebar ketika dari satu pojok muncul Mira. Petugas kepala tampak hendak bergerak, ketika terdengar suara Mira yang dengan hati-hati memanggil…

MIRA: Kelabang satu!

Petugas kepala menoleh, mencari suara itu. Ia tampak kaget.

MIRA: (Kembali berteriak, hati-hati, memanggil) Kelabang satu!

PETUGAS KEPALA: (Sambil melihat-lihat keadaan) Sebutkan kodemu?!

MIRA: Agen 36-B…

Mendengar itu, Petugas Kepala makin tampak makin kaget, gelisah, tapi mencoba menguasai keadaan…

Mira tampak keluar dari pojok persembunyiannya, tapi Petugas Kepala langsung membentaknya…

PETUGAS KEPALA: Tetap di situ!! (Kembali melihat sekeliling) Kamu yakin tak ada yang mengikutimu? (Sambil terus menyembunyikan diri dalam keremangan) terlalu beresiko kamu menemui saya langsung…

Tampak benar kalau Petugas Kepala selalu mencoba menjaga jarak, dengan berdiri di keremangan, hingga sosoknya tampak samar ketika berbicara…

MIRA: Maaf…

PETUGAS KEPALA:Kamu telah melanggar perintah!

MIRA: Saya hanya mau minta kepastian…

PETUGAS KEPALA: Apa yang yang pasti dalam situasi seperti ini! Semua sudah diluar kendali! Dan saya pun hanya pelaksana!

MIRA: Tapi kita telah sepakat: Susila tidak akan dibunuh… Karna itulah saya mau membujuknya supaya kabur…

PETUGAS KEPALA: Sekarang ini bukan saatnya kamu melibatkan perasaan! Kamu telah gagal, karena kamu melibatkan perasaan kamu. Kalau saja saat itu Susila langsung kamu bunuh, tak perlu ada operasi besar-besaran ini…

MIRA: Saya pikir, membiarkan Susila kabur dan bersembunyi lebih menguntungkan…

PETUGAS KEPALA: Pikirkan saja nasib kamu! Tak perlu memikirkan Susila. Apakah dia akan dibunuh atau tidak, itu hanya soal kepentingan. Mana yang lebih menguntungkan…

MIRA: Saya mohon…

PETUGAS KEPALA: Terlambat!

Terdengar serentetan tembakan di kejahuan. Mira dan Petugas Kepala saling menatap tajam…

MIRA: Apa itu Susila?

PETUGAS KEPALA: Entahlah… Kamu bisa cari informasi sendiri! Sekarang kamu mesti kembali!…

Seperti ada yang datang, dan Petugas Kepala melihat keadaan…

PETUGAS KEPALA: Cepat! (memperhatikan satu arah, merasa kalau ada seseorang yang datang mendekat) Kamu yakin tak ada yang mengikutimu?

Mira diam, memperhatikan sekeliling juga. Ia juga mendengar ada yang berjalan mendekat…

PETUGAS KEPALA: Cepat! Sekarang kamu pergi! Saya ingin daftar nama-nama itu secepatnya!

Petugas Kepala tampak makin ingin buru-uru pergi, melihat ke satu arah, melihat ada yang datang, dan Petugas kepala pun segera berkelebat menghilang, sementara Mira kembali sembunyi…

Muncul Pembela, tampak berjalan bergegas. Mira memperhatikan Pembela yang melintas itu, lalu memanggilnya.

MIRA: Utami!

Pembela kaget, berhenti dan menoleh. menatap penuh selidih kekapa Mira.

MIRA: Saya Mira… Kawan Susila…

PEMBELA: Oo.. Mira? Atau Agen 36 B? Kawan Susila? Atau yang mengkhianati Susila?

MIRA: Beri kesempatan saya untuk menjelaskan…

PEMBELA: Kamu mau memberikan penjelasan atau mau memberikan informasi yang menyesatkan? Dalam situasi seperti ini, siapa yang bisa kita percaya?

MIRA: Susila percaya sama saya. Dia mau mendengar omongan saya….

PEMBELA: Dan karena mendengar omonganmu lah maka sekarang nasibnya menjadi tidak jelas. Dia buron, dan sewaktu-waktu bisa mati ditembak! Atau jangan-jangan sekarang ia sudah mati tertembak! Kalau saja ia masih di dalam penjara, setidaknya saya masih bisa menjamin keselamatannya…

MIRA: Saya tahu persis: penjara akan menjadi tempat kematiannya. Karena itulah saya menyuruhnya pergi… Tolonglah… Jangan biarkan saya terus disiksa perasaan bersalah begini. Saya bisa bantu kamu. Sayu bisa hubungkan kamu dengan orang-orang gerakan… (Mengeluarkan seberkas kertas dari balik pakaiannya) Semua informasi ini mungkin berguna sebagai bukti di sidang nanti…

PEMBELA: (Dengan halus menolak) Apa untungnya buat saya? Kamu melakukan ini bukan karena ingin membantu saya, kan?! Kamu hanya ingin Susila selamat. Kamu mencintai Susila, dan karna itu kamu mau melakukan apa saja asal Susila selamat.

MIRA: Saya melakukan ini karena saya yakin kamu pun ingin Susila selamat… Bagaimana pun dia Pakdemu… Kamu mesti menolong Pakdemu…

PEMBELA: Bagaimana saya mesti menolong dia? Menolong diri sendiri saja saya tak mampu… (Menatap sinis pada Mira) Maaf, saya mesti buru-buru menghadiri sidang!

Dengan cepat Pembela segera meninggalkan Mira. Mira pun berdiri gamang. Terisak. Ia gelisah dengan seluruh perasaan bersalah. Ia mengeluarkan berkas kertas yang tadi hendak diberikan pada Pembela. Menatap dan mengamati berkas kertas itu dengan gemetar. Tiba-tiba Mira menyobek-nyobek berkas kertas itu, seperti ingin melampiarkan seluruh kegundahannya…

Pada saat itulah, terdengar teriakan orang-orang: ”Itu dia! pengkhianat! Tangkap! Tangkap!” Mira kaget, tetapi ia dengan cekatan langsung menyelematkan diri. Teriakan-teriakan itu terus terdengar mengejar: ”Tangkap! Kejar! tangkap!! kejaarr!!”….

TIGA BELAS

Hakim, Jaksa dan pembela muncul terburu-buru. Hakim langsung menuju meja sidang dan langsung mengetokkan palu berkali-kali.

HAKIM: (suara sudah langsung meninggi) Sidang mulai!

PEMBALA: (Ragu dan tak seyakin dulu) Ee.. Maaf, Bapak hakim.., klien saya belum ditemukan…

HAKIM: (mengabaikan, dan langsung memotong omongan Pembela dengan mengetukkan palu keras-keras dan makin tegas) Kalau begitu sidang dilangsungkan secara in absentia! Apa pun yang bisa mewakili kehadiran terdakwa harap segera dibawa ke ruang sidang…

Hakim kembali mengetukkan palu memerintahkan.

Terdengar teriakan seorang petugas: “Terdakwa segera memasuki ruangan!”… Suasana kemudian hening, khidmad. Musik mengiringi suasana bagai permulaan prosesi upacara yang sakral dan kudus. Semua berdiri menunggu…

Kemudian muncul para petugas yang mengusung sebuah closet yang ditandu dengan langkah-langkah upacara. Seperti parade kehormatan. Khidmad dan agung. Kemudian dengan penuh kehati-hatian, kloset yang ditandu itu kemudian diletakkan di tengah-tengah ruang sidang. Para petugas yang menandu pergi dengan sikap parade militer…

HAKIM: Harap petugas memastikan keotentikan status terdakwa!

Seorang petugas medis, segera mendekati closet itu. Ia segera menyeprotkan cairan pendeteksi sidik jari ke kloset itu, kemudian mengeliuarkan selembar tissue dan dengan hati-hati mengelap ke bekas semprotan itu. Lalu ia memeriksa closet itu dengan semacam alat pendeteksi dan dengan cermat dan seksama kertas itu diterawangkan ke cahaya…

PETUGAS MEDIS: Kami tak berhasil mengidentifikasi sidik jari terdakwa… Tapi kami berhasil menemukan sidik tai terdakwa… Dan berdasarkan sidik tai yang kami miliki, kloset ini memang pernah diduduki terdakwa!

HAKIM: Berdasarkan Undang-undang Susila, maka sidang bisa dianggap sah dan memenuhi kuorum… Saudara Jaksa dan Saudara Pembela, silakan mulai…

Hakim mengetukkan palu. Jaksa dan Pembela serentak mendekati kloset itu, dan langsung menghunjamkan bermacam pertanyaan, kata-kata, cercaan, sambil menuding dan menunjuk-nunjuk kloset itu…

JAKSA: Apa yang dilakukan pesakitan ini sudah tidak bisa kita maafkam.

PEMBELA: Hukum seberat-beratnya…

JAKSA: Ia terbukti secara meyakinkan berusaha menggulingkan moral negara.

PEMBELA: (Bertanya kepada kloset itu) Bukankah begitu, saudara terdakwa?

HAKIM: Pesakitan, saudara Pembela!

PEMBELA: Ya, pesakitan! Pesakitan ini adalah contoh buruk dari peradilan kita!

HAKIM: Contoh buruk dari moral, saudra Pembela!

PEMBELA: Ya, inilah contoh moral yang buruk!

JAKSA: Lihatlah Bapak Hakim… (menuding ke kloset) Inilah bentuk komunisnme gaya baru!

PEMBELA: Harus kita waspadai!

JAKSA: Harus kita ganyang! Inilah sumber penyakit kelamin. Sumber demoralitas Negara!

PEMBELA: Itu terlalu berlebih-lebihan…

HAKIM: Tak ada yang berlebih-lebihan, saudara Pembela…

PEMBELA: Ya, maaf, Bapak Hakim… tidak berlebihan bila pesakitan dihukum seberat-beratnya…

JAKSA: Pesakitan ini jelas sangat pantas dihukum rajam!

PEMBELA: Potong kelaminnya!

JAKSA: Hidup kelamin!

HAKIM: Saudara Jaksa!

JAKSA: Maaf, Bapak Hakim… Maksud saya, hidup kelamin yang bermoral!!

HAKIM: Sudah menjadi kewajiban kita mendidik agar setiap kelamin memiliki moral, Saudara Jaksa…

PEMBELA: Tapi kelamin pesakitan ini tidak bermoral!

HAKIM: Saya suka dengan nada bicamu yang heroik, Pembela! Good…

JAKSA: Teteknya juga tidak bermoral!

PEMBELA: Otaknya tak bermoral!

JAKSA: Buah pelirnya tak bermoral!

PEMBELA: Telinganya tidak bermoral!

JAKSA: Dengkulnya tidak bermoral!

PEMBELA: Kutilnya tidak bermoral!

Begitu seterusnya, Jaksa dan Pembela seperti saling berlomba melontarkan kata-kata ke arah kloset itu, menuding-nuding, meludahi, bahkan mengentuti kloset itu. Keduanya terus mendakwa dengan bermacam-macam kata cercaan dan bermacam-macam tuduhan…

Kemudian semua yang hadir ikut-ikutan menghujat: “Jarinya tidak bermoral! Alisnya tidak bermoral! Tumitnya tidak bermoral! Kukulnya tidak bermoral!… dst…” Hingga suasanya menjadi hiruk pikuk oleh hujatan yang makin meninggi.

Sementara lampu perlahan lahan mengarah dan fukus pada kloset itu. Bersamaan itu, suara Jaksa dan Pembela yang terus melontarkan kata-kata perlahan juga merendah dan sayup-sayup…

Sekitar panggung menggelap, dan hanya ada cahaya yang menyorot ke arah kloset. Suara Jaksa dan Pembela makin sayup-sayup.

Dan bersamaan dengan itu kemudian terdengar suara yang keluar dari pengeras suara, suara Hakim yang tengah mengumumkan,

SUARA HAKIM DI PENGERAS SUARA: Sidang Susila dengan ini memutuskan bahwa pesakitan akan menerima hukuman seberat-beratnya. Dan untuk menghindari hal-hal yang bisa berkembang dikemudian hari, maka Sidang Susila ini juga menetapkan, bahwa segala macam kata-kata, ucapan, tulisan, gambar, rekaman dan semua bentuk kelamin yang ada di muka bumi ini harus segera dihapuskan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya….

S E L E S A I

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds